Ajak Berpikir ke Dalam Jiwa

Ajak Berpikir ke Dalam Jiwa

”Pandemi yang mengakibatkan perubahan perilaku keseharian dan tatanan kebiasaan. Sekaligus mempengaruhi cara pandang kita atas realita hidup. Kadar perubahannya pun beragam. Semua itu jadi hal-hal yang memberi pengayaan dalam proses Bane ini,” terang Gema.

Dari Bane pula, Gema dan tim kerja banyak mendapatkan hal baru. Apalagi inilah kali pertama Laring yang digagasnya pada 2012, membuat film pertunjukan. Utamanya menemukan rasa yang sama antara pertunjukan langsung dan rekaman. ”Sebagai ruang kekaryaan bermedium bunyi, Bane adalah catatan kami selama masa pandemi yang bisa kami kemas ke dalam suatu pertujukan audiovisual,” ujarnya.

Sejak mula, Gema yang berprofesi sebagai komponis itu konsisten menjalankan Laring sebagai perkumpulan asal Jakarta yang menghadirkan suara-suara. Konsisten membuat karya-karya kontemporer. Melakukan kolaborasi antarseniman lintas bidang.

Tujuannya mengeksplorasi bunyi lebih dalam lagi. Rekam jejak Laring tercatat sejak 2012 ketika menampilkan Laring: Sounds of Differences. Dilanjutkan dengan eksplorasi bunyian bambu bertajuk Laring 2: Ragaluhu setahun kemudian.

Perilisan Bane diramaikan dengan Bincang Seni Dalam Jaringan bertema Mengupas Bane: Makna dan Penggarapannya pada 4 Oktober lalu. Narasumber Yudi Ahmad Tajudin, sutradara dan aktor pertunjukan, merasakan adanya tur narasi tentang penolakan sekaligus penerimaan yang ditunjukkan dalam berbagai ekspresi.

Dari awal ia menduga Bane tidak menghasilkan kohesitivitas. ”Gema membikin karya intermedial dari berbagai cara mengungkapkan ekspresi. Ada tumbukan media dari banyak orang. Sehingga hasilnya jadi tidak terduga. Didukung dengan adegan-adegan penguat rasa. Mulai suara gong digaruk, eksplorasi audio, sampai penggunaan kamera secara mendalam dan personal,” sebut Yudi.

Ia melihat adanya pendekatan yang lebih humanis. Mencoba menaikkan isu kesehatan mental akibat kehilangan orang tersayang selama pandemi. Lalu mencoba menampilkannya secara lebih luas. ”Bukan hanya dari kesedihan ditinggal orang tersayang. Namun mengangkat pula hak-hak manusia yang akhirnya terenggut. Seperti bertemu, berdagang, dan lain sebagainya,” terangnya.

Dari sisi produksi, Yudi melihat perpaduan kekuatan antara juru kamera dan editor. Keduanya memainkan peran penting dalam pembuatan visual sehingga pesan yang ingin disampaikan jadi lebih mudah tercapai.

”Setiap komponen dalam film tidak berdiri sendiri. Mereka dibuat menjadi satu kesatuan. Bane menggabungkan kualitas visual dalam bentuk akting mumpuni, pengambilan gambar, editing tepat, serta audio yang luar biasa,” imbuhnya.

Perempuan-perempuan yang mengerjakan ”Bane”, Sartika Dian Nuraini (kiri), Mian Tiara, Yanthi Rumian, Gema Swaratyagita, Tessa Prianka, dan Fiametta Gabriela. (Laring untuk Harian Disway)

Lewat Bane, Laring ingin membuka pemikiran serta kepekaan para seniman. Mengajak siapa pun untuk terus produktif apa pun yang terjadi. Mendorong wacana pembuatan fragmen-fragmen selanjutnya. ”Bane ini momentum dari cerita panjang dan besar yang terjadi. Secara tidak langsung pandemi bikin kita mikir lebih dalam ke dalam jiwa,” tambah Mian.

Semua berkat kungkungan selama pandemi. Sekaligus mewakili perilaku manusia yang sedang berusaha mengatasi situasi personal dalam ruang lingkup yang serba terbatas. (Ajib Syahrian)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: