Ajak Berpikir ke Dalam Jiwa
Apa yang terenggut oleh pandemi? Namun apa pula yang sudah didapatkan darinya? Berbagai pertanyaan sekaligus jawabannya dibabar oleh Bane. Sebuah film pertunjukan yang dipersembahkan Laring. Didukung Padepokan Seni Bagong Kussudiardja (PSBK) dan Bakti Budaya Djarum Foundation.
Digarap berdua -sebagai sutradara- oleh Gema Swaratyagita dan Fiametta Gabriela, tayangan itu sudah muncul secara perdana di PSBK jagonganwagen.psbk.or.id edisi 24 September 2021 hingga nanti 10 Oktober. Berikutnya di kanal YouTube Indonesia Kaya @indonesia_kaya pada 8-17 Oktober 2021.
Muncul beragam ekspresi tentang apa yang dirasakan selama masa pandemi dalam kolaborasi antara komposisi suara, teks, gerak, dan visual. Semuanya berpadu untuk mengajak bersama-sama merefleksi ulang pengalaman kehilangan selama kurang lebih dua tahun ke belakang. Tak sulit dicerna karena semua tentu mengalami.
Sejumlah suara ditata Gema Swaratyagita sebagai komponis dan penulis naskah cerita. Materi audio yang ditampilkan ”Bane” terbilang unik. Termasuk suara di masjid. (Laring untuk Harian Disway)
Komposisi itu dieksplorasi dari sesuatu yang hilang: orang-orang terdekat, pekerjaan, kebebasan berinteraksi, sampai hak warga negara dalam mendapatkan bantuan sosial. ”Kami mengumpulkan dari yang kami dengar. Ada suara masjid saat mengumumkan orang meninggal, detak jantung, dan lain-lain,” kata Gema.
Maka, ketika ditata Gema sebagai komponis dan penulis naskah cerita, materi audio yang ditampilkan terbilang unik. Ada ungkapan-ungkapan perasaan dalam mengatasi dan mengelola kehilangan itu. Dari proses itu dihasilkan sejumlah adegan dan dialog yang membedah catatan Gema sejak 2020 tentang perilaku manusia dan kehilangannya.
Potongan film pertunjukan ”Bane” yang menggambaran kehilangan yang material dan non-material seperti teman, sahabat, pacar, ayah-ibu, kakek-nenek, pekerjaan, imunitas, hak suara, nyawa, uang, hak milik, dan lain sebagainya. (Laring untuk Harian Disway)
Sesuai bahasa Sansekerta, Bane menunjuk suara atau bunyi. Mengungkap perasaan manusia dalam mengelola rasa kehilangan. Konsep mendialogkan pengalaman kesedihan dan singgungannya terhadap peran-peran kemanusiaan. Setelah didata dan ditulis oleh Gema, lantas direkam secara puitis dalam mata kamera Fiametta, pengarah artistik.
Di dalamnya Bane mengudari perasaan kehilangan dalam tubuh performer. Dibawakan Mian Tiara sebagai Pataaka, Tessa Prianka (Mamala), dan Yanthi Rumian (Pralaya). ”Seturut dengan kajian Kublër-Ross, ada lima tangga manusia berhadapan dengan kehilangan. Penyangkalan (tinolak), marah (nesu), tawar-menawar (nyang-nyang), depresi, dan penerimaan (ditampa basa),” terang Gema.
Dibantu Tessa yang juga bertindak sebagai asisten komponis, Gema harus mencurahkan perhatian lebih total daripada proyek Laring sebelumnya. Terlebih ada dua cara produksi Bane. Pertama, merekam suaranya. Kedua, menyimpan bunyi ketika proses syuting berlangsung. Masing-masing tetap menghadirkan nuansa yang dimau.
Bagian adegan dalam Bane ketika seniman dan performer mulai mencari secara internal ungkapan-ungkapan perasaan dalam mengatasi dan mengelola rasa kehilangan selama pandemi. (Laring untuk Harian Disway)
Menurut Gema, karya berdurasi 29 menit tersebut berawal di tengah proses ide utama karya yang sebenarnya dibuat untuk pertunjukan Opera Patata dan Mamala di atas panggung secara live di Galeri PSBK di Yogyakarta. Namun tak terealisasi karena pandemi. Lantas ada pembaruan total konsepnya sesuai platform baru menjadi tayangan audiovisual.
Keseluruhan ide besarnya bahkan sudah dibicarakan sejak awal 2021. Ketika pandemi sedang terjadi luar biasa pada 2020. Dengan berbagai kendala, semua berlangsung secara remote. Produksi dilaksanakan sepenuhnya di Jakarta. ”Kendala terbesarnya ya ketika harus berpikir cepat mencari editor pengganti. Jadi, ada beberapa detail yang kurang memuaskan,” papar Gema.
Namun dari pandemilah semua yang terlibat belajar. Bayangkan, selama pandemi banyak fenomena baru. Sebagian masih bisa melangsungkan agenda kehidupan tanpa perubahan yang berarti. Sebagian melakukan berbagai adaptasi demi sekadar bertahan hidup. Sebagian tak punya banyak kuasa untuk menghindar. Bahkan kehilangan siapa pun dan apa pun yang dicintai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: