Tumbuh Bersama Pandulisane

Tumbuh Bersama Pandulisane

Pandu Wicaksono adalah penyiar radio, presenter televisi, serta aktivis bagi teman tuli. Memulai karier di Malang, ia saat ini merambah sampai ke Jakarta. Mengejar cita-cita di dunia public speaking serta meluaskan kegiatan sosial.

Sebagai lulusan Universitas Brawijaya yang mendalami ilmu komunikasi Pandu sudah membayangkan bagaimana bekerja di ranah media. Mengutarakan sesuatu adalah hal kesukaan. Baik secara lisan maupun tulisan.

Di bidang penulisan, dirinya pun aktif. Memberikan informasi terkait isu terkini melalui akun Instagram. Selama kuliah, pria kelahiran 1991 itu ikut dengan sejumlah komunitas kepenulisan. Salah satunya adalah Hipwee Malang. Hingga dapat menginspirasi anak-anak muda di kota kelahirannya.

Karier dunia broadcasting pun telah dijalani. Mulai dari penyiar radio, pembawa berita televisi lokal, hingga pemandu acara beragam kegiatan. Salah satunya ketika dirinya memandu kegiatan komunitas Akar Tuli. Kumpulan mereka dengan keterbatasan pendengaran atau tuli.

”Waktu itu saya menjadi MC. Lalu saya sempat lupa sesaat kalau mereka itu tuli. Lalu saya mencoba interaktif dengan mengajak bertepuk tangan. Saya menggerakkan tangan layaknya manusia normal,” kata Pandu.

Jakarta membuka relasinya secara luas. Termasuk mengajak penyiar radio sekaligus artis sinetron Bayu Oktara memeragakan bahasa isyarat. (Pandu Wicaksono untuk Harian Disway)

”Sementara mereka melihat gerakan saya seperti itu, refleks bertepuk tangan seperti yang mereka lakukan. Yaitu dengan mengangkat tangan seperti daa daa. Di situ saya merasa gagal menjalankan komunikasi dengan audiens. Muncullah niatan untuk mulai mendalami bahasa isyarat,” sebut Pandu.

Tidak hanya mendalami bahasa isyarat. Bentuk kepeduliannya adalah dengan bergabung menjadi mentor di Akar Tuli. Menyebarkan pemahaman bahwa manusia normal juga perlu mempelajari bahasa isyarat. Karena teman tuli tidak semuanya percaya diri memperlihatkan kondisi fisik.

Pemandu acara memiliki peran penting dalam kelancaran suatu event. Mereka harus membawa flow jadi terasa menyenangkan bagi penyelenggara serta tamu. Maka, skill berkomunikasi mumpuni wajib dimiliki. Baik mereka dengan kesempurnaan indera serta yang memiliki keterbatasan.

Pengalaman tersebut membawa Pandu Wicaksono dalam penyadaran diri. ”Kita dengan kesempurnaan indera disarankan untuk lebih peduli dengan mempelajari bahasa komunikasi mereka. Keaktifan mempromosikan pemahaman itu dilakukan dalam berbagai bentuk,” katanya.

Seperti memandu acara teman tuli, membuat obrolan dengan tema demikian, serta terjun langsung di aktivitas terutama level kampus. Dia juga menjelaskan bahwa tunarungu bukan sebutan yang tepat bagi mereka dengan keterbatasan pendengaran.

”Tuna itu identik dengan ketidakbisaan. Rungu adalah pendengaran. Kebanyakan dari mereka ini sebetulnya bisa mendengar namun sangat terbatas bila dibandingkan manusia normal,” katanya.

”Maka dari itu, saya mengimbau kepada masyarakat untuk memanggil menggunakan Teman Tuli. Karena tuli bisa menggambarkan kekurangan tersebut tanpa menyimpulkan kalau tidak bisa,” imbuh Pandu.

Fokus tersebut turut membawanya ke sejumlah kota. Menjalin hubungan dengan teman tuli di Surabaya, Sidoarjo, dan lain sebagainya. Sekaligus menekuni bidang presenter sehingga jam terbangnya meninggi.

Sumber: