Sisi Humaniora dalam Pandemi

Sisi Humaniora dalam Pandemi

Yayasan Seruni menyelenggarakan pameran Tumbuh Seikat pada 17-24 Oktober 2021 di TMPT Creative Compund, Surabaya. Memamerkan berbagai karya tangan hasil teknik cukil.

Acara yang berlangsung selama seminggu ini turut menampilkan kegiatan lokakarya yang diminati anak-anak muda. Kegiatan ini sekaligus menandai pameran kolektif perdana Yayasan Seruni yang digawangi Candrika Soewarno, Eki Dimas, dan Nandiwardhana.

Mereka bertiga merupakan seniman dengan bidang yang berbeda-beda. Namun, sama-sama punya keinginan untuk berkarya sebagai bentuk ekspresi diri selama masa pandemi Covid-19. Mereka membuat studi seni grafis di Yayasan Seruni meskipun memiliki latar belakang yang berbeda.

”Kami berharap kehadiran gerakan kolektif ini dapat menjadi solusi alternatif dari beban hidup sehari-hari di masa pandemi. Mulai dari penatnya isolasi hingga ketahanan dalam aspek ekonomi,” kata Candrika mewakili rekan-rekan lainnya.

Karya seni cukil buatan Candrika Soewarno, Eki Dimas, dan Nandiwardhana. Semuanya dibuat selama masa pandemi Covid-19. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)

Karya cukil Eki, Candrika, dan Nandi memiliki bentuk dan tampilan yang beragam. Namun, tetap mengusung tema humaniora. Memperlihatkan berbagai kondisi manusia selama masa pandemi. Juga bagaimana lika-liku mereka dalam bertahan hidup.

Karya pembuka berjudul Hutan Perempuan. Diletakkan tepat di depan pintu masuk seakan menyambut kedatangan para tamu dan apresiator. Ketiganya terjun langsung dalam pengerjaan.

Gambar bertema “Hutan Perempuan” sebagai karya utama. Disandingkan dengan peralatan pembuatannya. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)

Karya ini mengisahkan tentang Teluk Youtefa. Sebuah kawasan hutan di pesisir Papua Barat tempat para perempuan berkumpul. Mereka ke sana itudak untuk bekerja atau berfoya-foya. Tapi mereka sama-sama menikmati keadaan alam luas nan indah.

Akan tetapi, kebahagiaan tersebut terancam direnggut. Berbagai pembangunan infrastruktur datang dan berpotensi besar merusak kondisi Teluk Youtefa. Proyek itu dianggap sebagai bentuk perbaikan kondisi serta meningkatkan pariwisata di kawasan tersebut. Sayang, hal tersebut dikhawatirkan justru akan merusak kekayaan alam yang ada.

”Rasanya mendebarkan mengerjakan Hutan Perempuan. Mungkin karena karya ini mengangkat tema yang menurut saya sangat bermakna. Jadi terlihat di sana ada sesosok perempuan Papua yang sedang mencari kerang di sekitar hutan bakau yang hanya boleh didatangi perempuan,” imbuh Candrika terkait karya utama dalam pameran kali ini.

Lewat karya ketiga seniman, Yayasan Seruni bertekad mengenalkan kembali seni cukil atau bisa disebut dengan xylography. (Ajib Syahrian Nor/Harian Disway)

Lewat karya itu, Candrika dan dua orang anggota Yayasan Seruni lain ingin masyarakat melihat ke ujung timur Indonesia. Hutan Perempuan menjadi tempat bergantung hidup masyarakat kampung Enggros. Mereka biasanya mencari kerang untuk dijual atau dikonsumsi di kawasan tersebut.

Namun, jumlahnya kian hari kian sedikit karena lautnya sudah semakin kotor. Mereka lebih banyak menemukan sampah daripada biota laut. BBC telah membuat laporan khusus terkait kondisi Teluk Youtefa pada Maret 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: