Kunci Kehidupan itu adalah Solidaritas
Pondok Pesantren Al-Fatah mencerminkan kehidupan yang penuh toleransi. Tak hanya untuk umat yang memeluk agama Islam. Namun, juga untuk kawan waria non-muslim.
TINU adalah seorang trans perempuan (transpuan) beragama Katolik yang hidup di Al-Fatah. Ia juga punya tempat yang spesial di pesantren ini. Ia membuat “peternakan” di depan kamarnya. Ada kelinci, burung, dan ayam. Semua ia rawat dengan telaten. Sebab, ia seorang pencinta hewan.
“Lebih enak di sini (Al-Fatah, Red). Udah enggak mikirin untuk beli atau masak makanan. Cuma bantu-bantu aja, kan tidak masalah, toh?” ucap Tinu.
Tinu menemukan jati dirinya sebagai perempuan selepas dari SMA. Kini, ia bekerja sebagai penata rias untuk pentas tari maupun pernikahan. Maka, tak jarang pula ia bepergian ke luar kota jika sedang dipanggil untuk job.
Selain itu, Tinu juga berwirausaha. Masih seputar bidang kecantikan. Tangannya lihai dalam membuat prada untuk hiasan pengantin Jawa. Tak heran kamar kecilnya ramai dengan busana dan pernik-pernik kecantikan.
Setiap hari Sabtu, ia biasa beribadah di gereja yang tak jauh dari pondok pesantren. Menurutnya, selama di gereja, tidak ada yang mempermasalahkan identitas Tinu. Bahkan, ketika curhat dengan Romo, ia mengatakan bahwa menjadi waria adalah urusanmu (Tinu) dengan Tuhan.
“Kan saya juga sering dengar ceramah di Al-Fatah. Ilmunya hampir sama kok. Cuma jalannya aja yang berbeda. Kalau yang satu lewat sana, yang satu lewat sini,” jelas Tinu.
“Toleransi adalah menyadari bahwa perbedaan adalah sesuatu yang indah. Allah menciptakan perbedaan. Manusia kalau wujudnya sama membingungkan. Kita harus menghormati perbedaan, baik itu agama, pandangan politik, warna kulit. Atas dasar kita sama-sama ciptaan Tuhan,” kata Shinta menjelaskan pandangannya.
Beberapa waktu silam, sempat terjadi pengalaman yang menyedihkan bagi pemimpin ponpes itu. Waria asal Ujung Pandang, Amanda, meninggal dunia. Namun, tidak ada yang mengetahui agamanya. Akhirnya, Shinta dan kawan waria lainnya mengubur Amanda secara muslim.
Setelah selesai prosesi, mereka diberi tahu orang gereja bahwa Amanda adalah jemaatnya. Lantas, Shinta kaget. Dari sini, Shinta membuat aturan. Setiap anggota waria harus menyebutkan agamanya. Itu juga dipertegas dengan diadakannya kegiatan keagamaan untuk waria non-muslim di Al-Fatah.
Pada dasarnya, kegiatan Al-Fatah terbuka bagi waria dari agama apa pun. Namun, untuk kegiatan beragama, ada program masing-masing. Seperti untuk waria beragama Kristen. Sebelum pandemi, Al-Fatah bekerja sama dengan universitas di Yogyakarta untuk melakukan ibadah bulanan. Ibadah dilakukan di kapel kampus itu. Sayangnya, kegiatan ini kandas.
Sampai suatu saat ada relawan dari gereja Kristen yang hendak mengisi kekosongan ini. Maka, terciptalah persekutuan doa untuk waria non-muslim. Jadwalnya dilakukan dua kali dalam sebulan. Pada Jumat minggu kedua dan keempat.
Dari yang awalnya empat orang, sekarang waria non-muslim di Al-Fatah bertambah jadi 20 orang. Shinta mengatakan, agama Kristen atau pun Katolik boleh diajak.
Sebenarnya, Tinu kurang sreg dengan persekutuan doa itu. Menurut Tinu, ajaran Kristen dan Katolik tidak bisa disatukan begitu saja. Namun, Tinu beberapa kali hadir untuk meramaikan persekutuan doa. Keberadaan komunitas untuk waria beragama Katolik memang masih jarang, menurut Tinu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: