Tetap Nguwongke pada Waria Lansia
Sepanjang 2021, beberapa waria lansia meninggal. Ada yang stroke, hepatitis, hingga overdosis. Yakni, mengonsumsi obat batuk hingga dua boks. Menurut Shinta, ketika tidak ada sesuatu yang bisa memabukkan, ia akan mengonsumsi obat itu. Biar pede saat “konser”.
“Waria itu lansianya lebih cepat, remajanya lebih lambat. Secara baku, umur 20-23 adalah waria remaja. Umur 50 ke atas, sudah dianggap waria lansia,” jelas Shinta.
Dalam siklus kehidupan waria, mereka harus melalui proses penerimaan jati diri. Coming-in menjadi proses yang panjang bagi mereka. Di tahap ini, mereka telah yakin akan dirinya sendiri. Yakni, sebagai waria. Tak lagi peduli tanggapan orang lain seperti apa.
Di masa remaja waria, persaingan juga ketat. Pengamen, pekerja seks, hingga pekerjaan salon membutuhkan tenaga ekstra. Maka, mereka jadi cepat menua. Tak lagi produktif.
Komunitas waria di Yogyakarta memiliki aturan. Ketika mencapai 18 tahun, seseorang baru bisa bergabung ke organisasi waria. Shinta menerangkan bahwa mereka tidak mau dianggap “mewariakan” anak yang di bawah umur. Sebab, bisa ’’kena pasal’’.
Pada acara itu, saya sempat heran. Ada anak-anak kecil yang turut ikut acara itu. Sepasang perempuan dan laki-laki. Mereka terlihat begitu akrab dengan para waria. Mereka menjaga, memangku, dan merangkul anak selama acara berlangsung.
Ternyata, itu anak asuh mereka.
Suatu saat, seorang perempuan pekerja seks pernah sakit dan dirawat di Kebaya. Dia hamil. Ketika mbrojol, anaknya ditinggal begitu saja. Kini, anak itu dirawat bersama-sama di Kebaya.
Beberapa waria mendedikasikan dirinya untuk merawat anak. Anak itu juga ada yang diangkat dari jalanan dan anak yang ditelantarkan. Seperti Shinta Ratri dan Rully Malay. Masing-masing pernah merawat anak hingga kini telah tumbuh dewasa.
Ketika memasuki fase lansia, para waria juga akan kembali momong anak.
Perbincangan Nur Ayu (kiri) dan Shinta Ratri di depan paa waria lansia, 9 Oktober.
(Foto: Jessica Ester untuk Harian Disway)
Kehidupan Waria dalam Buku
Masthuriyah Sa’dan menjadi saksi mata kehidupan para santri waria di Yogyakarta. Masthuriyah adalah lulusan S1 Institut Dirosat Islamiyah Sl-Amien (IDIA) Prenduan Sumenep dan melanjutkan kuliah Filsafat Islam di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tahun lalu, dia mengeluarkan buku berjudul Santri Waria dan Solidaritas Waria. Perempuan asal Sumenep, Jawa Timur itu menceritakan seluk beluk kehidupan para waria dari sisi keagamaan.
Dia ingin mengikis stigma tentang waria dan pekerja seks.
Buku pertama menceritakan tentang kisah para waria di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah. Sedangkan, buku kedua mengulik aktivitas waria dalam hal kegiatan kemanusiaan di tengah pandemi.
“Penulis berharap, kehadiran buku ini menjadi media literasi untuk mengenal waria sebagai manusia yang memiliki karakter, memiliki kepedulian sosial, dan mengubah cara pandang yang menggeneralisasi bahwa waria menggantungkan hidup dari dua penghidupan, yaitu pengamen dan pekerja seks,” tulis Masthuriyah dalam buku Solidaritas Waria.
Berbagai tantangan dihadapi Masthuriyah. Sebab, isu yang ia tulis begitu sensitif. Beberapa penerbit buku juga sempat menolak. Namun, berkat bantuan dari beberapa kerabat dekat, Masthuriyah berhasil melewati itu. Mulai kata pengantar, proofreader, hingga editor adalah teman Masthuriyah. Menurutnya, ini adalah “akad kemanusiaan dan pertemanan”
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: