Permainan Tradisional Boneka Nyai Puthut Memanfaatkan NLP untuk Telekinesis
Untuk anak-anak, Yongki menuntun alam bawah sadar mereka untuk menyalurkan energi tubuh pada boneka Nyai Puthut. Energi yang disalurkan pun tidak besar, tujuannya hanya untuk membuat boneka bergerak dengan gerakan kecil.
Berbeda ketika Yongki menuntun orang-orang dewasa yang memegang Nyai Puthut. ”Energi mereka lebih besar. Jadi energi yang terakumulasi dari beberapa orang itu mampu menggerakkan Nyai Puthut, hingga mengombang-ambingkan para pemegangnya,” tuturnya.
Ketika mengarahkan para pemegang boneka, Yongki selalu menuntun mereka untuk berkonsentrasi penuh. Kemudian berkata berulang kali, bahwa apa yang mereka mainkan sama sekali tak menggunakan bantuan mahluk gaib.
Keberhasilan mengilmiahkan permainan Nyai Puthut membawa dampak, paling tidak mindset masyarakat yang selama ini melabeli permainan tersebut dengan klenik, musyrik, syirik, bersekutu dengan jin dan lain sebagainya menjadi berubah.
”Juga, keilmiahan ini membuktikan betapa luar biasanya nenek moyang kita yang menciptakan permainan Nyai Puthut,” terang budayawan 70 tahun itu. Jika NLP baru ditemukan pada 1970, serta telekinesis hingga kini masih diperdebatkan, ratusan tahun lalu nenek moyang bangsa Indonesia telah memahami, bahkan mempraktikkannya.
Konon, permainan Nyai Puthut eksis tak berapa lama setelah para petani menemukan cara untuk mengusir hama burung. Yakni membuat boneka orang-orangan sawah dan dipasang di berbagai sudut di areal persawahan.
Orang-orangan sawah itu disebut Kaki Puthut. Setelah upaya mereka berhasil dan panen melimpah, mereka berinisiatif untuk menciptakan pasangan Kaki Puthut, yakni Nyai Puthut. Boneka Nyai Puthut itulah yang digunakan sebagai hiburan usai menyelenggarakan slametan sebagai ucapan syukur.
Permainan Nyai Puthut tak hanya ada di Malang, melainkan tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa. ”Hanya saja namanya berlainan. Juga, tiap daerah punya tata caranya masing-masing,” ungkapnya.
Ki Tetuko Yongki Irawan bersama boneka Nyai Puthut usai menyelenggarakan acara di sebuah mal di Malang. (Ki Tetuko Yongki Irawan untuk Harian Disway)
Misalnya di Solo, permainan serupa disebut Nini Thowok, di Yogyakarta disebut Nini Thowong. Masyarakat Magetan menyebut Nini Dhiwut. Masyarakat Semarang menyebut Nini Soendring, sedangkan masyarakat Cianjur menyebutnya Nini Buyut.
Ada pula yang menyebut permainan itu sebagai jailangkung. Selama ini jailangkung juga dianggap sebagai permainan mistis. Biasanya sang pawang meletakkan roh penasaran ke dalam tubuh boneka.
Kemudian boneka itu dapat menulis di papan tulis yang telah disediakan. Macam-macam yang ditulisnya. Bisa tentang kisah mengapa roh tersebut meninggal, sejarah masa lalu dan sebagainya.
Apakah memainkan jailangkung juga menggunakan NLP dan telekinetik? ”Tentu saja. Penggeraknya adalah pemain itu sendiri. Apa yang dituliskan oleh jailangkung sebenarnya adalah kemauan bawah sadar sang pemain. Tanpa bantuan jin dan semacamnya,” ungkapnya.
Sebagai pelestari Nyai Puthut, Yongki kerap mendapat undangan dari berbagai instansi pemerintah, juga didapuk untuk mementaskan bonekanya itu di berbagai tempat. Ia juga mendatangi berbagai sekolah untuk mementaskan Nyai Puthut dengan melibatkan para siswa. ”Jadi biar semua orang, terutama generasi muda mau melestarikan kesenian warisan leluhur ini. Sekaligus memberi tahu, bahwa Nyai Puthut sama sekali tak mengandung unsur mistis,” pungkasnya. (Heti Palestina Yunani-Guruh Dimas)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: