Fatwa Haram Cryptocurrency
Harian Disway - PEMBICARAAN halal-haram cryptocurrency masih saja ramai di media sosial. Fatwa MUI dan hasil bahtsul masail (BM) PWNU Jatim yang mengharamkan mata uang digital itu banyak disoal. Terutama oleh kalangan muda, termasuk santri muda. Dua otoritas fatwa tersebut dinilai terlalu menggunakan pendekatan kitab-kitab klasik dan tidak berorientasi masa depan.
Kripto dianggap sebagai keniscayaan perkembangan teknologi. Currency berbasis block chain itu dianggap sebagai mata uang masa depan yang tak lagi dibatasi wilayah dan negara. Karena itu, pembahasan hukum kripto harus berorientasi pada fakta yang tak terbantahkan di masa depan.
Meski di Indonesia kripto bukan alat pembayaran yang sah, banyak orang yang berjual beli kripto. Sebab, kripto diperdagangkan di pasar global yang bisa dijangkau siapa pun. Mata uang digital itu diperdagangkan tak ubahnya komoditas seperti emas, perak, atau komoditas lainnya.
Mengutip Coinmarketcap, setidaknya kini ada lebih dari 1.500 jenis kripto yang diperdagangkan. Itu tentu jauh lebih banyak daripada mata uang yang ada di dunia. Kapitalisasi pasarnya luar biasa besar. Kapitalisasi pasar bitcoin (BTC) saja mencapai USD 137 miliar. Harga satu BTC mencapai USD 8.103,52 (kemarin). Selain BTC, kapitalisasi ethereum (ETH) juga mencapai USD 50 miliar, ripple USD 25 miliar, dan bitcoin cash (BCH) USD 12 miliar.
Di Indonesia, ramainya perdagangan kripto bisa dilihat di Indodag. Member-nya mencapai 4,5 juta orang. Mereka bertransaksi berbagai jenis kripto meski yang utama adalah bitcoin.
Karena begitu maraknya perdagangan kripto, wajar jika MUI dan LBM PWNU membahas dan menetapkan hukum atas transaksi kripto. Sebab, sebagai otoritas fatwa, MUI dan LBM mendapat permintaan fatwa dari kaum muslimin yang tertarik pada kripto. Dengan demikian, mereka perlu mengeluarkan fatwa untuk pegangan bagi kaum muslimin agar tidak terjebak pada transaksi haram.
Bagi kaum muslimin, kepastian hukum atas kripto itu sangat penting. Sebab, konsekuensi dari Islam kafah memang menuntut bahwa kaum muslimin harus bermuamalah yang sesuai syariah. Termasuk, antara lain, ketika bertransaksi keuangan, investasi, dan jual beli. Dengan adanya fatwa haram itu, jelas bagi kaum muslimin untuk tidak ikut-ikutan bertransaksi dengan kripto.
Tidak mudah memang menentukan hukum atas sesuatu yang baru dan belum ada di masa lalu seperti uang kripto tersebut. Yang jelas, MUI dan LBM NU Jatim sudah menggunakan berbagai pendekatan dalam mengambil keputusan secara bersama-sama (ijtihad jama’i). Di antaranya, menghadirkan ahli kripto dan ahli keuangan untuk mendalami hakikat dari uang kripto.
Lebih rumit lagi, kehadiran kripto yang disebut-sebut sebagai mata uang digital justru lebih kental sebagai aset atau komoditas yang diperjualbelikan. Bukan sebagai currency atau alat pembayaran. Apalagi, di Indonesia, Bank Indonesia sudah menegaskan bahwa cryptocurrency tidak sah sebagai alat pembayaran di Indonesia.
Saat ini cryptocurrency seperti bitcoin, etherium, dogecoin, ripple, litecoin, stellar, dan sebagainya lebih banyak diposisikan sebagai aset. Suatu komoditas atau sil’ah yang kemudian diperjualbelikan. Dengan demikian, kripto lebih banyak digunakan sebagai media investasi yang nilainya diyakini akan terus menguat (naik) seiring kian diterimanya mata uang kripto di berbagai negara.
Melihat fungsinya, cryptocurrency disikapi oleh ulama dalam dua konteks. Yaitu, sebagai komoditas, aset, atau sil’ah, dan sebagai mata uang (currency). Dalam keputusan LBM NU Jatim, misalnya, kripto tidak memenuhi syarat sebagai sil’ah atau komoditas. Sebab, syarat sil’ah adalah adanya wujud fisik dan bisa diserahkan. Di sini, kripto tidak memenuhi. Apalagi, kripto juga tidak memiliki underlying.
Kripto dinilai mengandung gharar dan dharar (membahayakan). Gharar adalah ketidakjelaskan dalam transaksi akibat tidak terpenuhinya ketentuan syariah. Sementara itu, dharar adalah sesuatu yang menimbulkan kerusakan atau kerugian yang berdampak pada pemindahan hak menjadi tidak sah.
Sebagai currency, kripto juga tidak sah (haram). Itu masih terkait dengan ketidaksahan kripto sebagai sil’ah atau komoditas. Sebab, dalam kitab-kitab fikih, ulama menyepakati bahwa sil’ah atau komoditas secara otomatis juga bisa menjadi alat tukar. Karena bukan sil’ah, kripto juga tidak sah digunakan sebagai alat tukar.
Apalagi, menurut para ulama, sesuatu yang menjadi alat tukar (medium of exchange) dan sebagai mata uang (currency) itu perlu pengesahan dari otoritas (negara). Hal tersebut juga seirama dengan UU No 7 Tahun 2011, yakni ditegaskan bahwa alat pembayaran yang sah di Indonesia adalah uang rupiah. Jadi, fatwa itu bisa saja berubah jika suatu saat negara mengakui kripto sebagai alat pembayaran yang sah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: