Hanya 5 Ribu Guru Honorer yang "Dikontrak"
Lulusan baru sarjana pendidikan agaknya harus lebih bersabar. Sebab, posisi guru honorer belum bisa dijadikan sandaran untuk hidup layak. Selain itu, jatah penerimaan pegawai negeri guru dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Guru pun sangat minim.
TOTAL guru honorer di Jatim saat ini ada sekitar 35.000 orang. Dari jumlah itu, yang berhasil diterima sebagai PPPK hanya sekitar 5.711 orang. Artinya, serapan kuota PPPK masih 14 persen. Sedangkan, secara nasional terdapat 173.000 guru honorer yang diangkat menjadi PPPK pada tahap I lalu.
“Sebetulnya, pemerintah ingin beri reward kepada guru honorer,” papar Ketua PGRI Jatim Teguh Sumarno, kemarin (25/11). Yakni dengan mengangkat sebanyak satu juta guru honorer menjadi PPPK dalam kurun waktu 3 tahun. Namun, ternyata serapannya masih sangat rendah. Antara kebutuhan dan kuota yang disediakan masih tidak imbang.
Apalagi, jika mengingat banyaknya guru honorer yang sudah sepuh. Banyak yang berusia 45-50 tahun. Itu yang sesungguhnya harus diperhatikan. Maka, kata Teguh, PGRI pusat bakal mendampingi para guru honorer ke Mendikbud dan DPR-RI. Meminta kuota PPPK agar diperbanyak lagi pada tahap berikutnya.
Teguh juga turut prihatin dengan para sarjana pendidikan saat ini. Sebab, jumlahnya sangat banyak. Di Jawa Timur, misalnya, setiap tahun jumlahnya bertambah. Namun, tidak terserap dengan baik. Artinya, banyak lulusan guru yang tidak bisa mengajar di sekolah karena tidak ada kuota.
Sehingga, ia mengimbau agar para sarjana pendidikan memiliki keterampilan berwirausaha. Menghasilkan produk dan syukur-syukur bisa menyerap tenaga kerja. “Jadi, harus mulai diarahkan ke situ. Atau boleh jadi guru, tapi tolong jangan andalkan jadi PNS,” tandasnya.
Sebab, ia juga menyadari satu hal. Bahwa pemerintah sangat kesulitan menata anggaran untuk menyiapkan kuota calon pegawai negeri. Meskipun, banyak orang masih menggantungkan cita-cita menjadi pegawai negeri.
Sehingga para generasi muda perlu membangun watak swasta. Artinya, bisa mandiri untuk menciptakan sesuatu. Misalnya, dengan membangun bisnis. “Itu yang sering saya kumandangkan ke sekolah-sekolah. Dadi pegawai negeri ya urip. Gak dadi pegawai negeri ya urip,” ujar mantan Rektor Universitas PGRI Banyuwangi itu.
Direktur Vokasi Universitas Negeri Surabaya Martadi mengatakan, problem oversupply lulusan pendidikan sudah terlalu lama dibiarkan. Ia meminta Kementerian Pendidikan Riset dan Teknologi segera mengambil kebijakan berani. “Saya khawatir kampus meluluskan terus tanpa memikirkan lulusan mahasiswanya,” ujar dosen seni rupa itu.
Guru honorer, Mei Kurniatul Adawiyah (kanan), saat mengajar mata pelajaran PPKn di SMP PGRI 6 Surabaya, Rabu (24/11).
(Foto: Eko Suswantoro-Harian Disway)
Minat menjadi guru meningkat drastis sejak ada tunjangan profesi guru (TPG) 2005. Setelah ditetapkan sebagai profesi, ternyata cara seleksi guru tidak banyak berubah.
Untuk jadi guru tidak perlu kuliah sarjana pendidikan (SPd). Semua jurusan bisa jadi guru. “Di undang-undangnya memang begitu. Guru memang khas. Beda dengan dokter yang profesinya harus ditempuh dengan kuliah kedokteran,” lanjut mantan Ketua Dewan Pendidikan Surabaya itu.
Lulusan SPd atau jurusan murni, harus sama-sama mengambil pendidikan profesi guru (PPG). Tak ada perlakuan khusus untuk SPd. Ini jadi syarat untuk dapat TPG.
Di sisi lain pemerintah pusat membatasi pendaftaran PPG. Jika PPG diobral, anggaran belanja pemerintah pusat bisa membengkak. “Jadi sudah kuotanya kecil, SPd itu juga harus bersaing dengan sarjana jurusan lain di PPG,” lanjutnya.
Martadi teringat saat menjadi Konsultan World Bank untuk pengembangan program Wapik (Wahasana Aplikasi Praktik yang Baik) pada 2012. Problem guru dari hulu ke hilir dibahas di forum itu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: