Jangan Ragu-Ragu Studi di Benua Biru
PINTU Eropa terbuka lebar bagi pelajar, guru dan dosen yang ingin meneruskan studinya. Pernyataan itu disampaikan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam H.E. Vincent Piket dalam General Lecture (kuliah umum) yang digelar secara virtual oleh Universitas 17 Agustus 1945 kemarin (25/11).
Menurut Vincent semua universitas di Eropa sudah punya standar tinggi. Kualitasnya terjamin meski di kampus yang belum punya nama besar. “Standar sangat dipantau secara ketat. Semua tergantung pada kemampuan Anda dalam riset dan pengembangan diri,” katanya.
Orang membayangkan kuliah di Eropa pasti mahal. Vincent menepis anggapan tersebut. Banyak universitas dengan ongkos terjangkau di Eropa. Selain itu ada 1.200 lebih pintu beasiswa yang bisa dimanfaatkan.
Menurutnya, belajar di Eropa tidak melulu soal akademis. Mahasiswa yang mengambil studi sarjana hingga program doktor di Eropa bakal bertemu orang-orang dari lintas negara.
Terkadang jarak antar kota lintas negara di Eropa sangat dekat. Dengan naik kereta selama dua jam, pelajar atau mahasiswa bisa berpindah-pindah negara.
Hal pertama yang akan mereka dapatkan adalah kefasihan dalam Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pembelajaran. Interaksi dengan penduduk lokal akan menambah pengalaman budaya mereka. Bahkan banyak mahasiswa yang akhirnya mahir berbahasa Jerman, Belanda, hingga Spanyol.
Salah seorang peserta bertanya terkait syarat vaksinasi sebelum masuk ke Eropa. Mayoritas penduduk Indonesia memakai Sinovac. Apakah vaksin itu diakui?
Vincent mengatakan bahwa Sinovac sudah mendapat pengakuan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ada semakin banyak negara Eropa yang memperbolehkan Sinovac sebagai syarat masuk ke bandara. “Saya rasa Anda bisa bepergian ke Eropa tanpa terkendala vaksin,” lanjutnya.
Kemarin, alumnus University of Navarra Spanyol Dr Mathias Filipe De Lima Santos juga menceritakan pengalamannya selama belajar di Eropa. Menurutnya, untuk mendapat beasiswa ke Eropa, proposal yang diajukan harus kuat dan memiliki kontribusi terhadap negara asal. “Misalnya saya dari Brazil. Maka akan dilihat apakah studi itu berdampak pada Brazil atau Amerika Latin pada umumnya,” kata Mathias yang berada di Spanyol.
Namun, penelitian tidak melulu harus sesuai dengan negara asal. Mathias juga meneliti tentang negara-negara di Asia dan Afrika. Yang terpenting, negara yang diteliti adalah para partner Uni Eropa.
REKTOR UNTAG Prof Mulyanto Nugroho (empat dari kanan) menyaksikan penandatanganan pakta integritas mahasiswanya saat kegiatan PKKMB, Agustus lalu.
Ia ingin civitas academika kampusnya bisa menggapai pendidikan hingga ke negeri lain.
(Foto: Eko Suswantoro-Harian Disway)
Membuka acara, Rektor Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Prof Mulyanto Nugroho berharap ada banyak mahasiswa yang melanjutkan studinya ke luar negeri. Terutama Eropa karena peluang beasiswa begitu tinggi. “Diharapkan ilmu mereka bisa diimplementasikan saat pulang ke tanah air. Khususnya untuk Surabaya,” ujarnya kepada lebih dari 150 peserta seminar tersebut. (Salman Muhiddin)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: