Filosofi Gandik dan Pipisan di Situs Beteng, Jember
Karena sering bersentuhan dengan tangan penggunanya di masa lalu, tak jarang batu gandik yang ditemukan memiliki warna kehitaman dan mengilat. Tak jarang pula batu gandik diketemukan dalam kondisi pecah dua bagian, dengan garis pecahnya relatif berasal dari bagian tengah.
Kadang-kadang ujung kanan dan kiri batu gandik tidak memiliki sisi datar, melainkan sisinya melengkung atau cembung. ”Sebab, bisa jadi pada saat tertentu batu gandik digunakan sebagai media tumbuk sederhana,” terangnya.
Di situs Beteng, sebuah batu pipisan dan gandik di atasnya dipasang berjajar dengan batu lumpang berukuran besar dan kecil. Bisa saja di masa lalu batu gandik juga digunakan sebagai media menumbuk untuk lumpang yang berukuran lebih kecil.
Kebudayaan Jawa sejak periode Hindu-Buddha selalu lekat dengan jagat simbol serta makna yang melingkupinya. Termasuk gandik dan pipisan. Selain berfungsi sebagai peralatan rumah tangga, untuk menggerus bahan-bahan masakan, keduanya bermakna filosofis.
Gandik sering dimaknai sebagai simbol maskulinitas dari bentuknya yang silindris menyerupai phallus. Sedangkan benda pasangannya yaitu batu pipisan dengan bentuk pipih dimaknai sebagai simbol feminin yang menyerupai bentuk vulva.
”Secara simbolik, gandik dan pipisan adalah kombinasi maskulin-feminin, atau phallus-vulva,” ungkapnya. Sedangkan relasi keduanya menyimbolkan coitus atau persetubuhan yang bermakna kesuburan.
Gandik, sebagai personifikasi pallus, simbol maskulinitas. Fungsinya sebagai alat gerus yang digelindingkan maju-mundur di atas pipisan. (Dwi Cahyono untuk Harian Disway)
Terkait dengan fungsi dan makna simboliknya, maka peralatan gandik dan pipisan tak hanya digunakan sebagai sarana memasak, tapi di masa lalu juga difungsikan untuk kepentingan ritus, khususnya untuk memperoleh kesuburan.
Baik kesuburan bagi pria, wanita, pasangan kekasih yang akan menikah atau pasangan yang lama tak dikaruniai buah hati. Bahkan gandik dan pipisan digunakan dalam tiap ritual yang terkait dengan kesuburan tanaman dalam lahan pertanian.
Mengingat Jawa adalah lingkungan agraris, yang sebagian besar penduduknya bercocok tanam. Salah satu buktinya, gandik-pipisan sering didapati sebagai bagian dari temuan arkeologis. Misalnya candi.
”Ketika menemukan candi, gandik dan pipisan sering ditemukan di dalam reruntuhan candi,” ungkap alumnus Studi Arkeologi, Pascasarjana, Universitas Indonesia itu.
Hal itu semakin menguatkan bahwa gandik dan pipisan menjadi salah satu bagian dari peranti ritus kesuburan. Masyarakat masa lalu melakukan ritual tersebut di dalam candi sebagai tempat peribadatan.
Di dalam rumah tangga, selain digunakan sebagai perangkat ritus, gandik dan pipisan diduga lebih sering digunakan untuk menggerus bahan-bahan yang digunakan sebagai jamu yang berkhasiat sebagai penguat kesuburan manusia.
Dipakai oleh kaum perempuan di dapur, menggerus sembari melafalkan doa demi bisa segera mendapat keturunan, atau jamu yang dibuatnya berkhasiat sebagai penyubur.
Kini, gandik dan pipisan hanya bermakna sebagai artefak memorial atau artefak tinggalan masa lalu yang fungsinya hanya untuk dikenang. Artefak tersebut tersingkir dari dalam dapur ke halaman rumah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: