Bisa Dipetik atau Digesek

Bisa Dipetik atau Digesek

Bambu dengan ujung yang meruncing sekaligus mewakili jiwa patriotisme. Karena benda itu dulu jadi senjata rakyat dalam menghadapi penjajah.

Pria berambut gondrong ini mengaku telah membuat alat musik sejak dia duduk di bangku SMP di Malang. Utamanya ketika dia bergabung dengan Kelompok Teater Idiot. Tapi sutradara pertunjukan jarang memintanya bermain di atas panggung. Wukir lebih banyak berkiprah di balik layar. Dia bertugas sebagai pengisi instrumen pendukung pertunjukan.

”Bentuk suara yang dihasilkan bukan sekadar musik. Jenisnya bermacam-macam. Ada suara macan sedang mengaum, suara gemercik air, dan suara batu jatuh. Semua saya yang ciptakan. Memanfaatkan benda-benda yang ada,” kenangnya.

Contohnya ketika ia diminta membuat suara air bah. Ia memaksimalkan pipa paralon bekas pembangunan rumah yang diisi air dan batu. Kemudian dimainkan sehingga menimbulkan bunyi layaknya gemuruh.

Sumber bebunyian termasuk alat musik tersebut berhasil diciptakan setelah memodifikasi sejumlah alat musik tradisional seperti sasando, kecapi dan rebab.

Menurut Wukir, bukan pekerjaan mudah menciptakan alat musik karena setiap alat musik butuh waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikan.

Bahkan ada alat musik tertentu yang baru kelar setelah dikerjakan enam tahun. Bambu wukir merupakan satu dari belasan jenis alat musik hasil eksplorasi bunyi Wukir dengan mengandalkan bermacam bahan. ”Pokoknya dimodifikasi sampai alat musik itu bunyinya terasa sempurna,” tandasnya.

Wukir Suryadi saat tampil di Belanda. Menurut Wukir, apresiasi justru datang lebih banyak dari luar negeri. (Wukir Suryadi untuk Harian Disway)

Bambu wukir boleh jadi yang paling sukses di antara inovasi alat musik lainnya. Bahkan sampai meraih atensi dari masyarakat luar negeri. Sebut saja Austria, Australia, Belanda, Denmark, Jepang, Jerman, Kepulauan Tasmania, Norwegia, Portugal, Swiss, sampai Tiongkok.

Pada 2010, Wukir dan Rully Shabara dari Yogyakarta mantap membetuk sebuah unit duo eksperimental bernama Senyawa. Berbeda dari band atau grup musik pada umumnya, Senyawa berfokus menciptakan karya-karya berisi bebunyian yang terinspirasi dari mana saja. Utamanya suara yang mengambil inspirasi berada di lingkungan sekitar, suara alam, hingga suara perbendaan.

Wukir hadir dengan alat musik ciptaannya yang tampak asing tapi terdengar unik. Sementara Rully yang berangkat dari musik rock eksperimen menyumbang vokal dan lirik dari khazanah bahasa lokal. Meresapi bahasa dari budaya Jawa, Bali, Sumatera, Sulawesi. Ia juga membawa kosakata dari Tibet, Afrika, dan Amerika Selatan. Membuat senyawa jadi grup musik eksperimental dengan cakupan sangat luas dan tak terduga.

Tak berselang lama dari pembentukan bagi band bergenre eksperimental ini untuk berhasil memikat ketertarikan para pendengar. Bukan hanya dari dalam negeri, pendengar dari mancanegara pun tertarik.

Puncaknya ketika mereka mendapat undangan tampil di Melbourne Jazz Festival 2011. Sejak saat itu, Senyawa tercatat sudah melanglang buana ke berbagai negara. Menampilkan seni bebunyian khas mereka. ”Di luar negeri kami sering masuk ke acara jazz,” tandasnya.

Senyawa sudah menghasilkan sembilan album. Yang terbaru bertajuk Alkisah, dilepas pada 23 Maret 2021. Termasuk melepas tiga album pendek dan tiga album rekaman penampilan langsung.

Selama lebih dari satu dekade berkarya, mereka telah mendapatkan empat penghargaan dari beragam institusi berpengaruh. Sebut saja Tempo Indonesia, Lucas Abela’s Gamelan Wizard, Rolling Stone Indonesia, dan Green Room Awards.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: