Renungan Pandemi Mewujud Jadi Karya Surabaya Fashion Parade

Renungan Pandemi Mewujud Jadi Karya Surabaya Fashion Parade

PARA fashionista Surabaya bakal lebih semangat hingga 5 Desember mendatang. Sebab, Surabaya Fashion Parade (SFP) 2021 resmi digelar sejak Kamis (2/12). Tidak lagi secara online seperti tahun lalu. Tetapi secara hybrid.

Bisa disaksikan langsung di Chameleon Hall Tunjungan Plaza 6 atau lewat online di kanal YouTube SFP. Pergelaran kali ke-14 tahun ini mengambil tema Ciclo. Diambil dari Bahasa Italia yang berarti lingkaran. Sebuah garis yang tak terputus dan terus berlanjut.

Tema itu merupakan kelanjutan dari tema tahun lalu. Yakni, Viable. Artinya, kemampuan bertahan hidup.

SFP 2021 mementaskan karya delapan desainer andalan. Beberapa di antaranya juga pernah ikut serta di SFP 2020. Seperti Alben Ayub Andal dan Deden Siswanto. Desainer yang lain adalah Mega Ma, Yuliana Wu, Helwa, Winarni Widjaja, Yunita Kosasih, dan Aura Afilia.

Seluruh karya mereka begitu unik. Masing-masing tema merupakan representasi dari pengalaman dan perenungan selama masa pandemi. Ada yang bertema minimalis, kesederhanaan, ketangguhan, hingga kekuatan rasa.

Misalnya karya Yunita Kosasih yang berwujud dress shift biru muda tanpa lengan, Bahannya kain lurik khas Yogyakarta yang ditenun ulang secara manual oleh para perajin dari Kota Gudeg tersebut. Dikerjakan selama satu bulan. Melibatkan kerja banyak tangan.

“Tema yang saya angkat itu sense. Rasa. Kemampuan merasakan yang terjadi di sekeliling kita,” kata Yunita. 

Dia menyajikan 12 koleksi pakaian resor karyanyi tadi malam. Seluruhnya terbuat dari kain lurik. Dengan pilihan warna yang lembut seperti biru muda, abu-abu, dan putih. Pengerjaannya pun dilakukan secara manual oleh penenun dari Kota Gudeg.

Sedangkan Alben Ayub Andal begitu bersahaja. Bahwa manusia harus tetap bisa bertahan hidup. Seperti ia yang harus terus bersama para karyawannya di tengah masa-masa sulit. “Saya bikin baju yang biasa banget. Karena kondisi sekarang nggak berani muluk-muluk. Penjahit juga harus tetap hidup,” ungkapnya.

Desainnya simpel. Mengandalkan bahan-bahan yang nyaman seperti kain linen. Bersahabat dengan semua jenis cuaca. Intinya, siap pakai di momen apa saja.

Juga, tentu saja, mempertimbangkan harga yang lebih terjangkau. Agar putaran penjualannya lebih lancar. “Apa pun kondisinya, kalau nggak bisa lari ya berjalan. Meski habis jatuh, pilihannya ya harus berjalan lagi,” katanya.

Parade karya desainer Deden Siswanto.
(foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Founder SFP Dian Apriliana Dewi juga mengungkapkan hal serupa. Pegiat, desainer, perajin, hingga konveksi yang bergelut di dunia fashion memang mengalami masa sulit selama pandemi. Namun, itu bukan halangan untuk berkarya. “Selama masa pandemi ini, seluruh sektor terpukul. Termasuk juga industri fashion,” katanyi

Semangat tak boleh surut. SFP tetap digelar bagaimanapun kondisinya. Bahkan, meski tahun lalu digelar secara online, ternyata responsnya juga luar biasa. Itu membuktikan bahwa SFP tetap berkomitmen pada satu hal. Yaitu mewadahi para desainer dan model agar tetap menebar kreasi.

Dian juga tak menyangka SFP bisa bertahan sejak 2008. Tidak mudah untuk membentuk dan membangun sesuatu. Apalagi mempertahankannya dalam waktu yang lama. Impian dan tekad yang kuat memang menghasilkan hal yang luar biasa. (Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: