Menanti Manisnya Gula

Menanti Manisnya Gula

Harian Disway - PEKAN kemarin Komisaris Utama PTPN X Wahyu Widodo mengirim pesan lanjutan dari temannya. Isinya tentang update posisi impor gula kita. Yang menggambarkan terjadinya lonjakan berarti tahun ini.

Sudah beberapa tahun yang lama, kita memang sudah menjadi salah satu pengimpor gula terbesar di Asia. Tahun lalu, nilainya mencapai USD 1,9 miliar. Itu setara Rp 27 triliun.

Nilai impor gula Indonesia tersebut menempatkan kita pada urutan kedua pengimpor gula terbesar dunia setelah Amerika Serikat. Berada di atas Tiongkok yang penduduknya lima kali lipat dari Indonesia.

Kok bisa terjadi demikian?

Padahal, dari atas bumi yang sama, dulu, dikenal sebagai pengekspor gula. Saat kita masih menjadi Hindia Belanda. Yang kebun tebu dan pabrik gulanya banyak yang masih beroperasi hingga sekarang.

Sebaliknya, India yang dulu dikenal mengimpor gula, kini menjadi pengekspor. Bahkan, tahun ini India menjadi salah satu tulang punggung persediaan gula kita.

Berdasar data BPS, sampai dengan Juli tahun lalu, kita impor gula dari India senilai Rp USD 199.810.189. Itu sekitar Rp 2,8 triliun dengan kurs Rp 14.279 per dolar AS. Tahun ini naik tiga kali lipatnya.

Ketergantungan kita pada gula impor jelas sangat mengkhawatirkan. Tapi, ya bagaimana lagi. Kenyataannya memang masih demikian.

Dari 6,2 juta ton kebutuhan gula setiap tahunnya, produksi lokal baru bisa  memenuhi seperempatnya. Bahkan, belum bisa memenuhi kebutuhan gula konsumsi.

Kebutuhan gula kristal putih untuk konsumsi mencapai 2,7 juta ton per tahun. Total produksi pabrik gula BUMN dan swasta baru 2,2 juta ton.

Sedangkan 3,5 juta ton berupa gula kristal rafinasi untuk industri makanan dan minuman. Kebutuhan gula industri sepenuhnya ditopang gula impor.

Lantas, berapa kontribusi pabrik gula milik BUMN?

Dalam lima tahun terakhir, baru bisa memasok gula konsumsi sebesar 1 juta ton dari 2,6 juta ton kapasitas produksi idealnya. Belum bisa menaikkan angka lebih dari itu.

Kenyataan itu membuat gula yang rasanya manis menjadi pahit bagi BUMN gula. Sebab, paling tidak, pabrik gula BUMN seharusnya mampu menutup kebutuhan gula konsumsi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: