”Me Too” Gaya Indonesia

”Me Too” Gaya Indonesia

Hujan pemerkosaan di Indonesia. Herry Wirawan, 36, memerkosa 12 santriwati. Lalu, ada M. Marin Surya, 57, yang memerkosa 10 santriwati usia 12–15 di Depok. Juga, dosen Universitas Negeri Jakarta inisial DA melakukan pelecehan seksual kepada 10 mahasiswi.

---------------

SEMUA kasus itu sedang diproses hukum. Kasus tersangka Herry di Bandung. Tersangka Marin Surya dan dosen DA di bawah jajaran Polda Metro Jaya.

Ada juga di Semarang. Seorang mahasiswi diperkosa dosen pembimbing. Pemerkosaan berulang selama setahun sejak September 2020 dengan ancaman nilai kuliah.

Korban mahasiswi perguruan tinggi swasta di Semarang, didampingi Legal Resources Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Citra Ayu Kurniawati. "Dosen pemerkosa sudah dipecat pihak kampus. Korban masih menenangkan jiwa dan akan lapor ke polisi," katanyi kepada wartawan.

Hujan kasus pemerkosaan itu mengherankan. Sebab, baru sekarang begitu gencar diusut. Padahal, sepanjang 2021 ratusan kasus terpencar se-Indonesia, sebagian kecil terdata, sebagian besar tidak.

Khusus di Semarang, Data LRC-KJHAM di 2021, tercatat 80 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan 120 perempuan menjadi korban dan 88 pelaku kekerasan.

Kasus tertinggi adalah kasus kekerasan seksual dengan jumlah korban 89 atau 74 persen perempuan.

Lain lagi, LBH Semarang di 2021 mencatat ada 18 kasus kekerasan seksual dan di antaranya terdapat kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO).

Beda lagi, Sahabat Perempuan Magelang mencatat, ada 64 kasus kekerasan terhadap perempuan, 19 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual anak.

Media massa asing menyebutkan, budaya patriaki di Indonesia memarakkan pelecehan seks dan pemerkosaan. Sementara itu, penegakkan hukum dianggap tidak berpihak ke korban.

Dikutip dari The Conversation, 8 Maret 2019, Baiq Nuril, guru di Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 2018 melaporkan pelecehan yang dilakukan atasannya. Tapi, justru Baiq Nuril dipenjara dengan tuduhan melanggar UU ITE.

The Conversation (media massa news analysis) melaporkan, pada November 2017, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan bahwa penyidik harus bertanya kepada perempuan yang melaporkan kasus kekerasan seksual: Apakah ”korban nyaman selama pemerkosaan?”

The Conversation: ”Pernyataan mengejutkan itu menyebabkan banyak korban merasa putus asa. Jika pimpinan kepolisian Indonesia, wujud dari perlindungan hukum negara, menganggap bahwa pemerkosaan bisa dinikmati, bagaimana perempuan bisa percaya bahwa kepolisian ada di pihak mereka?”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: