Spesial Hari Ibu: Titik Winarti, Jadi Ibu untuk 800 Penyandang Difabel

Spesial Hari Ibu: Titik Winarti, Jadi Ibu untuk 800 Penyandang Difabel

Tidak banyak yang menempuh jalan hidup seperti Titik Winarti. Dia mempekerjakan 100 persen difabel dalam bisnisnya. Konsep yang diterapkan dalam Tiara Handicraft itu bergulir sejak 1995.

 

JEMARI Heni Sari begitu cekatan mengoperasikan mesin jahit dan gunting kemarin (21/12). Siang itu dia harus menyelesaikan 200 tas rukuh pesanan Kementerian Agama. Pemilik Tiara Handicraft Titik Winarti keluar dari ruang tengah rumahnyi. Dia mampir melihat garapan Heni yang bekerja di sudut ruangan.

Titik mengacungkan jempolnyi. Heni yang tuna rungu tersenyum karena pekerjaannyi sudah hampir selesai. Sudah sesuai deadline. “Banyak yang meragukan pekerjaan anak-anak difabel. Begitu ngerti hasilnya, mereka pesan terus,” ujar ibu lima putra itu.

Dia bergeser ke ruang samping. Ada mesin bordir tiga kepala, hibah dari Pemprov Jatim. Inilah mesin yang sudah lama jadi idaman. Akhirnya datang di 26 tahun perjuangannyi memperjuangkan difabel.

Penyandang tuna rungu Maharatha Lumara Dewangga sibuk mengoperasikan mesin itu. Angga, panggilan akrab gadis itu  harus mempelajari fungsi setiap tombol dan piranti mesin.

Anak pertama Titik, Ade Rizal membantunya belajar. Siang itu mereka harus menyelesaikan pesanan seragam perusahaan kelapa sawit dari Kalimantan.

“Kami butuh mesin ini karena banyak perusahaan yang mencari operatornya,” ujar Titik. Jika Angga sudah mahir, ia akan dilepas ke perusahaan yang lebih besar.

Begitulah sistem kerja Titik. Menurut sebagian orang cara itu agak nyeleneh. Saat buah yang dibibit sudah matang, Titik malah melepasnya.

PEMILIK Tiara Handicraft Titik Winarti mendampingi Heni Sari menjahit di rumahnya di kawasan Sidosermo kemarin (21/12).

Penyandang tuna rungu, tuna daksa, hingga slow learner didampingi sampai mahir. Titik sudah dianggap sebagai ibu kedua bagi 800 alumni.

Dia menegaskan Tiara Handicraft hanya sebagai batu loncatan. Karena itulah banyak penyandang difabel datang dan pergi.

Titik harus mengajari mereka lagi mulai dari nol lagi. Lelah, memang. Namun, dia ingin otaknyi terus berputar. “Saya sering mengambil ilmu dari orang tua anak difabel. Kisah perjuangan ibu mereka kalau ditulis sudah jadi banyak novel,” katanyi.

Beberapa tahun terakhir ini Titik menyadari bahwa pemerintah terlalu fokus pada anak difabel. Ibu yang mendampingi mereka belum terjamah pendampingan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: