Tambang Emas PTAR Dituding Picu Banjir Bandang di Sumut
Tambang emas PT Agincourt Resources di Desa Garoga, Tapanuli Selatan.-Dok. PT AR-
HARIAN DISWAY - Banjir bandang dan longsor di Sumatra menjadi alarm keras bahwa kerusakan ekologi di kawasan itu sudah mencapai titik kritis.
Siklon Tropis Senyar memang menjadi pemicu langsung, namun para pegiat lingkungan menegaskan akar masalahnya jauh lebih dalam: fungsi lindung hutan di Sumatra telah lapuk setelah puluhan tahun ditekan oleh berbagai izin eksploitasi.
“Daya dukung lingkungan Sumatera sudah kritis karena hutannya ditimpa dan dirobek-robek oleh ribuan izin industri ekstraktif,” ujar Country Director Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak, dalam pernyataan tertulis Koalisi Keadilan untuk Planet Kita (JustCOP), dikutip Rabu, 3 Desember 2025.
Menurut Leonard, kerusakan itu terutama terjadi di daerah aliran sungai (DAS), perbukitan, serta wilayah yang seharusnya menjadi zona lindung alami. Banyak di antaranya telah berubah menjadi kawasan industri, perkebunan, dan tambang.
Ia juga menyoroti bahwa fenomena cuaca ekstrem yang memicu banjir, dalam hal ini pembentukan Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka adalah cerminan nyata dari krisis iklim.
“Anomali iklim akibat penghangatan ekstrem di perairan Selat Malaka membuktikan krisis iklim nyata terjadi,” katanya. “Dampak setiap kerusakan terus menimpa masyarakat yang memperparah kerentanan sosial-ekologis di tengah krisis iklim.”
Nada yang sama disampaikan Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien. Ia menyebut banyaknya korban jiwa di Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh seharusnya menjadi momentum untuk mengevaluasi ulang seluruh izin ekstraktif yang berada di kawasan rawan.
Menurutnya, bencana sebesar ini tidak akan sedahsyat sekarang apabila pemerintah dan perusahaan patuh pada prinsip kehati-hatian ekologis.
“Dampak banjir bandang di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh sesungguhnya sangat mungkin diminimalkan jika perusahaan dan pemerintah mengkaji setiap izin, proyek, serta bukaan hutan secara menyeluruh dan transparan,” kata Andi.
Ia menegaskan bahwa negara harus hadir dengan tindakan nyata, bukan sekadar respons darurat setelah bencana terjadi.
“Banyaknya korban jiwa harus jadi pengingat pemerintah untuk benar-benar memulihkan bentang alam yang rusak, mengecek kembali serta meninjau ulang izin perusahaan perusak lingkungan,” tambahnya.
Di Tapanuli, pusat perhatian para pemerhati lingkungan mengarah pada ekosistem Batang Toru atau Harangan Tapanuli yang dikenal memiliki salah satu kekayaan biodiversitas paling tinggi di Indonesia.
Kawasan yang menjadi habitat terakhir orang utan Tapanuli itu kini terimpit ekspansi industri ekstraktif dari berbagai arah.
Ekosistem ini dikelilingi oleh proyek tambang emas Martabe milik PT Agincourt Resources, pembangunan PLTA Batang Toru, PLTMH Pahae Julu, proyek geotermal PT SOL, konsesi pulp dan kertas PT Toba Pulp Lestari, hingga perkebunan sawit PT Sago Nauli dan PTPN III.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: