Ritual Gunung Kawi yang Gagal

Ritual Gunung Kawi yang Gagal

Dewi Fortuna kembali berpihak pada Andreas Nurmandala. Ia menang besar dalam berjudi. Ia mendapatkan uang sebesar Rp 30 juta. Sehingga, ia menepati janjinya untuk menjalani ritual pesugihan di Gunung Kawi. 

SAMPAI sekarang, Andreas masih tidak menyangka bahwa dia akhirnya tinggal di Kota Malang. Di Jl M.T. Haryono. Sisi barat kota dingin tersebut. Dari situ, Gunung Kawi terlihat seperti raksasa tidur. Kepalanya di selatan, telapak kakinya di utara.

Gunung itu berada di sebelah barat daya Kabupaten Malang. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Blitar, Jawa Timur.

Padahal dulu, Andreas harus menang judi buntut dulu baru bisa pergi ke gunung itu. Saat sudah tobat, ia malah tinggal dekat dengan Gunung Kawi.

“Ketika itu, memang saya bertekad. Nanti, kalau saya menang judi dengan nominal besar, saya akan ke Gunung Kawi untuk menjalani ritual pesugihan,” kata Andreas sambil tersenyum. Suatu saat, ia mendapatkan hasil yang sangat besar. Yakni, Rp 30 juta.

Tanpa pikir panjang, siang itu Andreas langsung mempersiapkan barang-barangnya. Ia hanya membawa barang secukupnya. Lalu, bergegas berangkat ke bandara. Ia membeli tiket menuju Surabaya. Kala itu, tiket pesawat harus dibeli di bandara.

Perjalanannya memakan waktu yang cukup lama. Sesampainya di Surabaya, ia harus menggunakan jalur darat lagi. Baru bisa sampai di Malang. Belum ada jalan tol saat itu. Perjalanan darat itu memakan waktu tiga jam. “Saya sampai di kaki Gunung Kawi itu sudah malam,” bebernya.

Sesampainya di kaki gunung, ia harus berjalan kaki lagi. Tidak tahu berapa waktu yang digunakan untuk berjalan dari parkiran mobil ke tempat pesugihan itu. Di lokasi pesugihan itu, ada penginapan. Karena memang banyak orang yang datang ke sana untuk mencari keberuntungan.

Masyarakat menganggap tempat tersebut dapat membawa keberuntungan dan memberikan kekayaan yang kekal. “Saya lupa berapa lama kita harus berjalan. Tapi, ada jalan setapak yang harus kita lewati. Jalannya terus menanjak,” cerita Andreas.

Di sana, ada makam yang dikeramatkan. Ada dua. Yakni makam Mbah Jugo dan Mbah Sujo. Juga, ada kelenteng yang berdiri di lokasi tersebut. Setelah Andreas mendapatkan kamar untuk menaruh barang bawaannya, ia langsung bersiap untuk menjalankan ritual.

Tapi, ia diharuskan membawa sesajen. Soal itu, ia tidak perlu risau. Sebab, tempat itu juga menjual sesajen. Ada tiga macam sesajen yang dijual di situ: ayam, kambing, dan kerbau. “Saya belinya ayam saja. Tapi, saya tidak tahu perbedaannya apa,” jelasnya.

Selain mempersiapkan sesajen, ia juga harus menyiapkan bungkusan yang nantinya akan didoakan. Bukan pendeta atau ulama yang mendoakannya. Tapi, pemimpin ritual. Orang itu duduknya tepat di atas salah satu makam yang dikeramatkan tadi.

“Saya tidak bisa menyimpulkan ia dukun atau tidak. Saya sih sebutnya itu juru kunci saja. Jadi, selain hewan, dua kantongan yang kita beli tadi, langsung diberikan ke orang itu untuk didoakan. Sampai sekarang, saya juga tidak tahu kantong yang terbuat dari kain itu isinya apa,” ungkapnya.

Tidak setiap malam ritual itu dilakukan. Hanya waktu-waktu tertentu. Saat Andreas ke sana adalah Jumat Legi. Ritual itu dimulai pukul 12 malam. 

Keesokan harinya, Andreas merapikan lagi barang bawaannya untuk langsung kembali ke Lampung. Tentu dengan dua kantong yang telah didoakan itu. Kantongnya merah dan kuning. Kantong itu setiap hari harus disembah agar ’’berfungsi’’.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: