Desa Mandiri

Desa Mandiri

Harian Disway - JATIM kini terbebas dari desa tertinggal. Semua desa di Jatim kini berstatus berkembang, maju, dan mandiri. Bahkan, ada 697 dari 7.724 desa yang termasuk desa mandiri. Itu angka yang cukup tinggi karena mencapai 21,32 persen dari total 3.269 desa mandiri di Indonesia.

Desa Mandiri, tentu, menggambarkan desa yang maju dan sejahtera. Sebab, sebuah desa disebut desa mandiri jika  punya ketersediaan dan akses terhadap pelayanan dasar yang mencukupi, infrastruktur yang memadai, aksesibilitas/transportasi yang tidak sulit, pelayanan umum yang bagus, serta penyelenggaraan pemerintahan yang sudah sangat baik. Dalam indeks pembangunan desa (IPD), desa mandiri adalah desa yang memiliki indeks lebih dari 75.

Konsep desa mandiri diambil dari UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Konsep pembangunan desa, menurut UU itu, memang terdiri atas empat aspek. Pemenuhan kebutuhan dasar, pelayanan dasar, lingkungan, dan kegiatan pemberdayaan masyarakat desa. Desa mandiri berarti telah memenuhi empat aspek itu.

Sudahkah masyarakat Jatim sejahtera? Meski tak lagi ada desa tertinggal, tak berarti bahwa kemiskinan di desa sudah teratasi. Penduduk miskin di Jatim justru naik akibat pandemi Covid-19. Tahun 2021, jumlah penduduk miskin mencapai 4,42 juta atau 11,40 persen dari jumlah penduduk Jatim. Jumlah penduduk miskin nasional sendiri mencapai 27,54 juta orang.

Bukan hanya itu. Badan Pusat Statistik (2021) mencatat bahwa 4,4 persen penduduk Jatim masuk kategori miskin ekstrem. Jumlah penduduk miskin  ekstrem mencapai 1.746.990 orang. Mengacu Bank Dunia, berarti hampir dua juta penduduk Jatim hanya memperoleh pendapatan kurang dari USD 1,9 per hari (Rp 27.075 dengan kurs Rp 14.250/USD).

Kondisi itu menjadi PR penting bagi Pemprov Jatim dan pemkab/pemkot di Jatim. Apalagi, pandemi Covid-19 belum benar-benar berakhir sehingga ancaman kemiskinan masih menghantui masyarakat. Juga, tentu menjadi PR bagi pemerintah desa.

Dalam UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, pemerintah desa diberi kewenangan yang besar untuk menyejahterakan masyarakat desa. UU itu memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah desa untuk mandiri. Itu sebagai konsekuensi atas otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mewujudkan kesejahteraannya sendiri. Termasuk pemerintah desa. Campur tangan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah banyak dikurangi sehingga pemerintah desa akan makin mandiri.

Dasar otonomi daerah secara prinsip adalah pemberian kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan, kecuali sedikit saja yang menjadi urusan pusat. Daerah juga diberi kewenangan membuat kebijakan untuk memberikan pelayanan, meningkatkan peran serta masyarakat, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang ditujukan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Dalam UU No 6 tersebut, ditegaskan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal-usul, dan/atau hak tradisional. Dengan definisi itu, UU No 6 tentang desa memberikan peluang bagi terwujudnya kemandirian desa. Kemandirian itu, tentu saja, berkaitan dengan kemandirian anggaran dengan pemberian keleluasaan bagi pemerintah desa untuk menggali sumber-sumber pendapatan sendiri sebagai sumber pembiayaan pembangunan daerah.

UU Desa juga mensyaratkan kesiapan desa dalam menghadapi beragam tantangan. Pemerintah desa dituntut untuk melaksanakan tugas pemerintahan dengan sebaik-baiknya, seperti dalam hal perumusan kebijakan desa seperti perdes dan APB desa, merencanakan dan melaksanakan pembangunan ekonomi desa yang sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat desa, serta memberikan pelayanan kepada masyarakat desa seperti dalam hal administrasi kependudukan dan kesehatan.

Pemberian keleluasaan kepada desa tidak berarti mudah bagi pemerintah desa. Sebab, pemerintahan desa memiliki keterbatasan, khususnya anggaran. Sebagian besar dana bagi pembangunan desa berasal dari pemerintahan supra-desa, baik itu kabupaten maupun pusat. Dana pembangunan desa yang berasal dari internal desa hanyalah pendapatan asli desa yang berasal dari hasil usaha desa dan hasil kekayaan desa yang bersumber dari tanah kas desa.

Secara umum, pendapatan desa yang terbatas tersebut tidak mampu meng-cover seluruh kebutuhan pembangunan desa sehingga pemerintah desa dituntut kreatif untuk mendayagunakan seluruh sumber daya modal yang dimiliki untuk sebaik-baiknya memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan keuangan bagi desa.  Pemerintah desa dituntut kemampuannya dalam menggali sumber-sumber pendapatan secara mandiri.

Salah satu sumber pendapatan asli desa yang cukup potensial adalah hasil pengelolaan kekayaan serta pemanfaatan aset desa. Aset desa merupakan potensi ekonomi, dalam arti adanya manfaat finansial dan ekonomi yang bisa diperoleh yang bisa menunjang peran dan fungsi pemerintah desa sebagai pemberi pelayanan publik kepada masyarakat.

Meski aset sangat penting bagi desa, selama ini kondisi di banyak desa adalah aset desa belum dikelola secara optimal. Hal tersebut, antara lain, diindikasikan dari beberapa keadaan. Pertama, status penggunaan aset desa masih idle, belum dimanfaatkan dengan baik atau menganggur. Banyak aset desa yang sangat strategis dan potensial untuk dikembangkan dan menghasilkan pendapatan yang besar tidak digunakan untuk kegiatan ekonomi yang menghasilkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: