Nyaris Disidang, Dimaafkan, Dibebaskan
SEHARUSNYA tersangka Etik Purwidiati menjalani sidang. Akibat penganiayaan yang dilakukan kepada tetangganya, Indah Dewi Prasetyo. Namun, warga Kampung Malang Kulon itu batal menjadi terdakwa. Kedua pihak sepakat berdamai. Kasus pun selesai.
Perdamaian keduanya menjadi dasar Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya untuk menghentikan penuntutannya. Kebijakan itu dilakukan berdasar pada sistem keadilan restoratif (restorative justice).
Kasi Intel Kejari Surabaya Khristiya Lutfiashandy menceritakan, Etik melakukan tindak pidana penganiayaan pada 12 Agustus 2021 di Jalan Kampung Malang Kulon I No 8, Surabaya, sekitar pukul 15.00.
Saat itu Etik menganiaya saksi korban Indah Dewi Prasetyo. Tersangka memukul dengan tangan kosong. Pukulan itu didaratkan ke arah kepala, wajah, dan pipi korban. Dilakukan lima kali. Tak hanya itu. Dia juga mendorong Indah hingga kepalanyi terbentur tembok.
Kejadian itu membuat korban mengalami beberapa luka di tubuhnyi. Pemicu tindakan tersebut adalah perkataan yang tidak pantas diucapkan tersangka kepada anak Indah. Ucapan itu dilaporkan kepada Indah. ”Mendengar laporan tersebut, korban langsung mendatangi rumah tersangka,” kata Khristiya, kemarin.
Rumah mereka tidak jauh. Hanya selisih dua rumah. Kedatangan korban sebenarnya hanya ingin mengonfirmasi maksud dan tujuan tersangka mengucapkan kata-kata tersebut kepada anaknyi.
Tapi, kedatangan itu malah menjadi perdebatan antara keduanya. Bahkan, berujung pada pemukulan. Korban lalu melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Tegalsari. Perkara itu pun berjalan sampai pada Kejari Surabaya. Namun, sebelum perkara itu lanjut, Kejari Surabaya berusaha mendamaikan keduanya.
Jaksa penuntut umum (JPU) Anggraini, 3 Januari 2022, mempertemukan kedua pihak di Kejari Surabaya. Jaksa menjelaskan maksud dan tujuan proses perdamaian itu. Juga, konsekuensi jika para pihak menyetujui atau tidak atas perdamaian tersebut. Termasuk waktu proses perdamaian.
Setelah JPU menawarkan proses perdamaian, kedua pihak menyetujui proses perdamaian itu. Mereka sepakat berdamai tanpa syarat dan saling memaafkan. Lalu, ditindaklanjuti dengan penandatanganan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP).
Dasar hukum yang dipergunakan JPU dalam melaksanakan penghentian perkara adalah Undang-Undang No 11 Tahun 2021 tentang perubahan UU RI 16/2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 14 KUHAP.
Juga, Peraturan Jaksa Agung RI No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Selain itu, JPU menimbang fakta antara korban dan tersangka. Tindakan yang dilakukan merupakan emosi sesaat saja.
Serta, besarnya tekanan hidup tersangka. Etik tergolong keluarga tidak mampu. Setiap hari tersangka hanya bekerja sebagai tukang cuci rumah tangga. Penghasilannya hanya Rp 30 ribu per hari. Sementara itu, suaminyi kuli bangunan yang berpenghasilan Rp 70 ribu per hari.
Mereka harus menghidupi dua anaknya. Masing-masing berusia 7 tahun dan 14 tahun. Sebenarnya, perbuatan tersangka itu terancam pidana pasal 351 ayat (1) KUHP. Dengan ancaman pidana penjara paling lama 2 tahun dan 8 bulan atau denda paling banyak Rp 4.500. (Michael Fredy Yacob)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: