Inggris Takluk di Jembatan Wonokromo
Akhir tahun lalu, Komunitas Roodebrug Soerabaia mengajak wisatawan menelusuri jejak Soekarno pakai dua kereta kelinci. Kemarin (16/1), mereka menelusuri jejak sejarah di bantaran Kalimas pakai sepeda kayuh.
SEBANYAK 26 pesepeda berbaris rapi di depan Monumen Wira Surya Agung. Lokasinya tidak jauh dari ujung selatan Kalimas. Itulah titik pertama gowes pagi itu. Mereka akan mengikuti tour sejarah di sepanjang Kalimas selama empat jam. Dari selatan ke utara.
Peserta sudah berpakaian lengkap. Semua pakai sepatu dan helm. Ada yang membawa sepeda kebo, balap, jengki, hingga sepeda lipat Brompton. Ada yang masih remaja, ada juga yang sudah punya cucu.
Ketua Roodebrug Soerabaia Satrio Sudarso menyelinap ke depan rombongan. Di tangannya sudah ada corong pengeras suara. “Selamat pagi,” kata Satrio menyapa peserta gowes heritage.
Peserta merapatkan barisan. Satrio mengenalkan pendiri Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan. Kali ini, Ady akan memandu langsung rombongan wisata murah meriah itu. Masing-masing cuma membayar Rp 30 ribu. Itu sudah dapat katalog berisi sejarah titik-titik yang akan dikunjungi, foto dokumentasi, hingga doorprize.
Pada tour Jejak Soekarno, Ady berhalangan hadir. Saat itu, tugas pemandu sejarah diserahkan ke Satrio.
Tanpa menunggu lama, Ady mengambil alih pengeras suara. Pagi itu ia berpenampilan santai. Pakai celana gunung pendek dan kaus hitam. Dada dan punggungnya sudah tertutup dengan tas yang biasa ia bawa gowes. Sepeda lipat Brompton-nya diparkir tak jauh dari taman monumen.
Ady berdiri di ujung relief emas pertempuran Surabaya yang tertempel di dinding monumen. Peserta langsung merapat untuk melihat detail ukiran itu. “Di sini pernah terjadi pertempuran antara rakyat Indonesia dan tentara Sekutu,” ujar penulis buku Surabaya: Dimana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu itu.
Yang biasa melintasi Jembatan Wonokromo arah ke selatan pasti tak asing dengan monumen pejuang bercat hijau itu. Inilah monumen yang dibangun untuk mengenang pertempuran Surabaya fase pertama.
Ady menerangkan bahwa Inggris datang pada 25 Oktober 1945 dengan bantuan Tentara Gurkha. Pihak Indonesia menerima kedatangan sekutu karena mereka datang untuk menyelamatkan tawanan perang. Bukan untuk melucuti persenjataan yang sudah dikuasai pemuda Indonesia.
Dua hari kemudian keadaan menjadi panas. Pesawat-pesawat Inggris menyebar selebaran berisi seruan agar rakyat menyerahkan senjata. Siapa pun yang memegang senjata akan ditembak mati. Selebaran itu diikuti aksi sweeping pasukan Inggris. Rakyat Indonesia melawan. Merdeka atau mati.
Pertempuran pun pecah pada 28 Oktober 1945. Kita mengenang hari itu sebagai Pertempuran Tiga Hari atau Pertempuran Fase Pertama. Sebanyak 5 ribu pasukan Inggris di bawah komando Brigadir Jenderal Mallaby nyaris tersapu bersih atas perlawanan arek-arek Suroboyo.
Gencatan senjata disepakati pada 30 Oktober karena Inggris kewalahan. Mereka meminta Soekarno-Hatta menghentikan pertempuran. Namun, Mallaby tewas di Jembatan Merah hari itu. “Ada berbagai versi bagaimana ia tewas dan terbunuh. Namun dari hasil otopsi, itu karena ledakan granat,” kata Ady.
Kematian Mallaby membuat Inggris meradang. Mereka menyerbu Surabaya dengan kekuatan penuh. Sebanyak 30 ribu personel matra darat, laut dan udara fokus menyerang Surabaya.
Dalam pertempuran fase pertama, jembatan yang diduduki Inggris itu diserang oleh pejuang dari Sekolah Kadet Mojoagung. “Mereka menyerbu dari sisi selatan, dan berhasil merebut jembatan,” lanjut alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya itu.
Ady Setyawan menceritakan sejarah jembatan Peneleh kepada peserta Melihat Surabaya dari Sepeda.
(Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: