Imlek dalam Sanubari

Imlek dalam Sanubari

Dia tinggal bersama suaminya yang berprofesi sebagai tenaga penjual alat-alat tulis, dan ketiga anaknya yang berusia 17 tahun, 12 tahun dan si bungsu 7 tahun.

Ibu paruh baya ini tinggal di Surabaya sejak 1990. Berarti sudah hampir 32 tahun. Rumah yang ditinggalinya dulu adalah tempat percetakan kalender Mandarin peninggalan dari keluarga suaminya.

Dari luar kita bisa melihat, penuh tumpukan barang dan kardus. Tidak ada dapur. Memasak terpaksa dilakukan di depan kanan pintu yang ditutup kardus agar tidak terkena debu. Tidak ada saluran air PDAM.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kim Hwa membeli air tiga kaleng besar dari penjual langganan. ”Tidak ada perayaan Imlek buat kami, itu hanya untuk orang-orang kaya,” katanya.

Baju baru, pesta, makan-makan dan keramaian Imlek itu dipendam dalam-dalam. Di sanubarinya. Baginya, Imlek lebih nyaman menganggapnya sebagai memperingati bukan merayakan.

”Dulu waktu kecil saya masih merayakan, karena keluarga masih komplet. Sekarang  tidak pernah bertemu karena tinggalnya jauh semua. Jadi sudah cukuplah dulu merayakan Imlek,” paparnya.

Memang sudah lama keluarga Kim Hwa tidak merayakan. Pun tahun ini.

Ucapan gong xi cukup dilakukan dalam keluarga kecil yang sederhana tersebut, tetangga maupun orang yang bertemu dengannya.

Keluarga Kim Hwa hanya larut dalam perayaan Imlek melalui televisi yang ditonton bersama. Benar-benar tidak ada perayaan khusus.

Meskipun hidup dalam segala keterbatasan, Kim Hwa memilih untuk mensyukurinya. Tercermin dalam senyum saat mengucapkan: ”Puji Tuhan, kami untuk kebutuhan sehari-hari, makan ada sajalah rezekinya.”

Menghadapi situasi saat ini, Kim Hwa sangat waspada dan menjaga betul kesehatan keluarganya.

Harapannya untuk dalam menyambut Imlek tahun ini semua dalam keadaan sehat, berjalan normal kembali, anak-anak bisa sekolah seperti dulu.

Memaknai Imlek

Dari keluarga Kim Hwa, kita bisa belajar melihat sudut pandang yang sangat sederhana. Dari arti sebuah perayaan hari besar sekalipun. Memang semua itu adalah pilihan. Memandang dari sebuah sisi atau sebaliknya. Kebahagiaan dan makna hari besar itu sangat subjektif.

Bagaimanapun perbedaan sudut pandang, namun yakin bahwa semua memiliki harapan yang sama. Kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Benar kan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: