Pilkada 2024 Bisa Antiklimaks

Pilkada 2024 Bisa Antiklimaks

WAKTU penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) serentak 2014 sudah ditetapkan. Itu sudah disepakati oleh DPR dan pemerintah pada Senin (24/lalu). Meski diselenggarakan pada tahun yang sama, tetapi pemungutan suara dilakukan terpisah.

Pemungutan suara pemilu serentak presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota digelar pada 14 Februari 2024. Sedangkan pemungutan suara gubernur dan wakil gubernur, Bupati dan wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota, bakal digelar pada 27 November 2024.

”Itu sesuai rapat kerja Komisi II di hari Senin kemarin,” kata Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung saat dihubungi, kemarin (26/1). Rencananya, akan diadakan rapat bersama penyelenggara pemilu dan pemerintah lagi dalam waktu dekat. Yakni untuk menentukan tahapan, program, dan jadwal Pemilu 2024.

Pakar Politik Universitas Airlangga Ucu Martanto turut menyoroti ketetapan Pemilu serentak 2024 itu. Menurutnya, bakal ada sedikit kerumitan teknis. Salah satunya, mengenai kepala daerah yang masa jabatannya berakhir sebelum 2024. ”Mungkin bakal digantikan oleh Plt. Tapi itu mudah, gak terlalu sulit,” katanya

Namun, yang perlu menjadi perhatian utama adalah pelaksanaannya. Apakah mampu membawa transisi kepemimpinan dan konfigurasi politik ke arah yang lebih demokratis.

Pelaksanaan pemilu dan pilkada punya selisih 9 bulan. Itu dikhawatirkan menciptakan bangunan struktur politik yang tidak kongruen. Sebab, partai politik hanya fokus berkoalisi untuk pemilu nasional. ”Itu akan menjadi kepentingan utama mereka. Kalau koalisi di pemilu tingkat daerah pasti akan berubah lagi,” katanya.

Misalnya, parpol X berhasil mendominasi pemilu tingkat nasional. Lalu, ternyata di tingkat daerah yang mendominasi parpol Y. Maka komunikasi politiknya cenderung lebih sulit. ”Presiden akan sulit berkomunikasi dengan kepala daerah yang berbeda partai. Tawar menawarnya akan lebih kompleks. Struktur politiknya juga sulit untuk kongruen,” jelasnya.

Begitu juga dengan psikologis para pemilih. Kemungkinan bakal terekspos oleh hiruk pikuk politik. Baik yang produktif maupun yang kontra-produktif. Padahal, kata Ucu, masyarakat lebih tertarik pada politik nasional.

Konsekuensi pertama, pemilu di tingkat daerah akan mengalami antiklimaks. Yang kedua, konflik pada pemilihan nasional akan terjadi beruntun. Isu nasional akan terseret hingga ke tingkat daerah. “Itu yang harus diperhatikan,” ujarnya.

Beban itu sepenuhnya akan ditanggung oleh Komisi Pemilihan Umum. Maka, harus segera dirumuskan peraturannya. Agar pemilu bosa dipastikan lebih demokratis. “Saya kira itu akan butuh resources besar. Fiskal 2024 juga akan banyak terserap ke situ,” ungkap Ucu. (Mohamad Nur Khotib)

 

 

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: