Screen Tourism: Antara Omicron dan Popcorn

Screen Tourism: Antara Omicron dan Popcorn

Kehadiran Omicron membawa pesan penting bahwa pandemi belum berakhir. Sementara manifestasi popcorn pada aspek ekonomis terelasi dengan hajat hidup untuk berlibur dan terhibur.

Industri pariwisata pada masa pandemi terus bergerak dinamis. Kedatangan Covid-19 sempat memaksa sektor ini untuk beristirahat panjang. Di sisi lain, kebutuhan untuk berlibur dan terhibur seakan sudah tak dapat dibendung.

Data dari Kemenparekraf menyebut, terdapat 11.271 kunjungan wisata ke Bali saat libur Nataru lalu. Di Yogyakarta, terdapat peningkatan reservasi hotel hingga 40-60 persen. Belum lagi keberhasilan Ancol menggaet lebih dari 18 ribu pengunjung pada awal tahun baru.

Taman Mini (TMII) berhasil menyedot 31.878 warga. Hanya pada dua hari pertama pada 2022. Selama libur Nataru, Kebun Binatang Surabaya (KBS) berhasil menarik kehadiran 43.924 pengunjung.

Rangkaian data tersebut menyiratkan bahwa masyarakat ingin menjadikan 2022 ini sebagai tahun penebusan. Ini bisa dimaklumi. Mengingat sepanjang dua tahun terakhir, masyarakat merasa telah cukup menahan diri untuk melakukan perjalanan wisata.

Padahal kedatangan varian Omicron baru saja diumumkan. Satu asa yang menjejali harapan dari jutaan masyarakat di Indonesia adalah ketersediaan peluang untuk tetap dapat berlibur dan terhibur.

Sebenarnya ini bukanlah suatu tuntutan yang berlebihan. Manakala menyimak pendapat Crompton (1979) bersama Todorovic dan Jovicic (2016). Disebutkan bahwa keinginan individu untuk berlibur didasari oleh kebutuhan untuk beristirahat dari rutinitas keseharian. Memungkinkan diri untuk dapat bersantai agar dapat mengurangi kelelahan mentalnya.

 Efek Popcorn

Pandemi memang belum berakhir. Namun pada awal tahun ini Kemenparekraf telah mencanangkan target yang cukup menantang. Wisatawan meningkat, sektor parekraf makin hebat.

Demikian resolusi Kemenparekraf untuk 2022. Hal tersebut dicetuskan tentu bukan dengan tanpa sebab.

Tak dapat dipungkiri bahwa konsumsi rumah tangga telah memberi sumbangsih besar terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa. Geliat pada industri pariwisata, terus bergerak seiring dengan laju pada industri hiburan.

Pergelaran di sirkuit Mandalika adalah contoh nyata relasi antara industri wisata dan hiburan. Meski MotoGP Mandalika masih berlangsung pada Maret nanti, namun hotel di Lombok kabarnya sudah penuh pesanan.

Sementara secara kultural, sudah jamak dikenal bahwa tradisi nonton membawa dampak ekonomis bagi pelaku usaha yang lain. Entah itu aktivitas nonton film, nonton bola, atau nonton balapan sekalipun, setidaknya akan berdampak pada konsumsi makanan dan minuman.

Misalnya ketika nonton film di bioskop. Tentu tak bisa lepas dari ritual membeli camilan penyerta. Nonton identik dengan pembelian popcorn. Inilah yang  berkembang menjadi budaya populer dalam tradisi nonton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: