Screen Tourism: Antara Omicron dan Popcorn
Efek popcorn ini seakan menjadi kata kunci potensi ekonomi dari geliat pada sektor hiburan. Sebagai contoh pengelola bioskop yang mengusung konsep cultureplex.
Mereka tak hanya menjadikan bioskop sebagai tempat pemutaran film semata. Namun menjadi ajang pertukaran dan pertunjukan aspek budaya yang lain. Dampaknya, pada 2018 cultureplex mampu meraup penghasilan bersih hingga Rp1184 miliar.
Kesiapan Industri Pariwisata
Di sisi lain, meroketnya permintaan untuk berwisata mestinya juga dibarengi dengan kesiapsediaan dari industri pariwisata. Setelah cukup lama beristirahat semasa PPKM, sebagian pekerja tentu banyak yang telah berpindah ke sektor lain.
Kebutuhan terhadap koki, pramusaji, pramupintu, receptionist, housekeeper, hingga tour guide, pasti terus meningkat. Program penyegaran terhadap skill dari para pilot dan driver yang sebelumnya dirumahkan, perlu menjadi perhatian.
Pada periode libur Nataru lalu, saya sempat mencermati bahwa pihak hotel masih terlihat rikuh saat harus melayani ratusan tamu sekaligus. Padahal hotel tersebut adalah salah satu yang terbaik di Yogyakarta.
Belum lagi adanya kebutuhan tamu hotel terhadap fasilitas swab test yang diperlukan untuk memenuhi syarat perjalanan jauh.
Potensi Screen Tourism
Senyampang menunggu pemulihan pada industri pariwisata, screen tourism perlu didorong untuk segera mengambil peran. Screen tourism berpeluang untuk menjembatani antara upaya menekan laju Omicron dengan niat menyemarakkan efek popcorn.
Screen tourism terlahir untuk mengungkit minat terhadap sebuah destinasi wisata. Di mana setiap lokasi syuting yang digunakan oleh film-film berlabel blockbuster berkembang menjadi destinasi wisata yang marak.
Sebut saja film Lord of the Rings yang mampu meningkatkan 40 persen kunjungan ke New Zealand. Lalu ada film The Beach yang berhasil meningkatkan kunjungan ke Thailand, dan film Notting Hill untuk destinasi ke London.
Ada lagi film Braveheart untuk destinasi ke Skotlandia dan Irlandia, hingga film Crocodile Dundee yang mampu mendorong minat wisatawan datang ke Australia.
Penelitian yang dilakukan Andrea Z Vara (2020) menunjukkan bahwa 89 persen sumber informasi yang digunakan untuk merencanakan sebuah kunjungan wisata diperoleh dari internet.
Oleh karena itu beberapa streaming platform memproduksi dan mendistribusikan konten yang mampu mempromosikan sisi kemanusiaan dari sektor pariwisata.
Para pelaku bisnis internet entertainment services (IES) telah memantik ketertarikan penonton melalui sajian konten berbayar. Melalui film, serial TV, atau layanan video on demand, penonton dapat terelasi dengan budaya atau komunitas yang berbeda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: