Restorative Justice dari Padang Lawas
The Guardian mengutip cerita guru besar ilmu filsafat University of San Francisco Prof Dr Rebecca Gordon ketika mengajar filsafat hukum.
Rebecca cerita, di tempat dia mengajar ada sekitar separuh mahasiswa kulit berwarna (bukan AS). Dia bertanya kepada mahasiswa: Apa keadilan menurut persepsi mereka?
Jawaban beragam. Bergantung kebiasaan di negara-negara mereka berasal. Lebih spesifik, bergantung budaya ketika mahasiswa itu masih kanak-kanak dulu. Tapi, prinsipnya, keadilan adalah membela si lemah.
Di situ mahasiswi asal Denmark membandingkan Denmark dengan negara tempat dia belajar:
Sistem kesejahteraan Denmark dibangun sedemikian rupa sehingga orang membayar pajak sangat besar. Pemerintah memainkan peran penting di situ.
Mahasiswi Denmark: ”Kami memiliki layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan keuangan gratis bagi mereka yang miskin.”
Dilanjut: ”Secara pribadi, saya percaya ini adalah sistem yang adil, di mana kita mengurus diri kita sendiri.”
Lain lagi, mahasiswa Latino (Amerika Latin) mengatakan:
”Rasa keadilan saya cenderung berkisar pada gagasan saya. Bahwa alam semesta dan kehidupan begitu agung, dan tidak dapat dijelaskan. Sehingga semua yang Anda masukkan ke dalamnya akan kembali kepada Anda.”
Dilanjut: ”Ini bisa saya telusuri ke masa kecil saya. Ketika ibu saya menyuruh saya melakukan segala sesuatu dalam hidup dengan cinta, iman, dan keberanian.”
Lalu: ”Sejak saat itu, saya percaya bahwa tindakan atau usaha apa pun yang dipandu oleh ketiga kualitas ini dapat dianggap adil.”
Beda lain, mahasiswa dari Timur Tengah, mengatakan: ”Keadilan, bagi saya, didefinisikan oleh hukuman atas kesalahan.”
Dilanjut: ”Keadilan adalah penilaian rasional yang melibatkan keadilan. Di mana pelaku kesalahan menerima hukuman yang pantas atas kejahatannya.”
Mahasiswa dari Asia punya jawaban yang kurang lebih sama dengan yang dari Timur Tengah.
Gordon menyimpulkan, konsep keadilan bagi orang bergantung budaya tempat ia dibesarkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: