Restorative Justice dari Padang Lawas
Dikatkan dengan data pemerintah Skotlandia, maka klop. Bahwa orang tua atau wali yang memukul anak adalah pelanggaran hukum. Itu bertujuan menghapus konsep, bahwa kejahatan harus diganjar dengan hukuman.
Lantas, di mana fungsi hukum mengendalikan masyarakat agar menjaga ketertiban bersama?
Restorativa justice, jawabannya.
Pusat keadilan dan rekonsiliasi yang berbasis di Washington DC, AS, menggambarkannya sebagai berikut:
"Restorative justice memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh suatu kejahatan. Ketika korban, pelaku, dan anggota masyarakat bertemu untuk memutuskan bagaimana melakukan itu, hasilnya bisa berubah.”
Intinya, ketika pelaku meminta maaf kepada korban dan korban memaafkan dengan ikhlas, lantas apa lagi yang perlu dipersoalkan? Dengan cara itu, diyakini pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya.
Sebab, ketika pelaku meminta maaf, ia berempati terhadap korban. Ia merasakan, betapa tidak enaknya jadi korban. Dengan begitu, ia tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya.
Di Indonesia, restorative justice baru saja diterapkan. Belum ada riset, apakah efektif mengatasi pelanggaran hukum. Juga, masyarakat masih dalam proses transisi menuju ke sana. Contohnya, kasus ”anak mencuri uang ibu” itu. Masih mendua, antara efek jera dengan memaafkan.
Kendati, kasus tersebut tidak bisa jadi tolok ukur. Sebab, antara pelaku dan korban punya hubungan darah sangat dekat. Coba, bagaimana jika tak ada hubungan darah?
Yang pasti, harus ada keikhlasan antara pelaku dan korban. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: