Nostalgia Disway
’’Saya tidak punya website,’’ jawab Pak Dahlan. Kali ini nadanya mulai tinggi. Pertanda tidak senang. Tapi posisi catur masih open skak.
’’Saya yang membuatkan website-nya. Saya yang mengelola. Abah saja yang menulis. Saya yang mengedit,’’ jawab saya.
Pak Dahlan akhirnya benar-benar menyerah. ’’Carikan nama website yang bagus. Kalau saya setuju, saya menulis. Kalau tidak setuju berarti saya tidak akan menulis lagi,’’ jawabnya.
Saya pulang dari apartemen itu dengan perasaan nano-nano. Senang tapi juga senep. Gagal menemukan nama yang disukai berarti mimpi saya untuk menikmati tulisan Pak Dahlan setiap hari harus dikubur dalam-dalam.
Sudah hari ketiga. Nama website itu tak kunjung saya dapatkan. Habis magrib harus sudah sampai apartemen Pak Dahlan. Mempresentasikan konsep website dengan filosofi namanya.
Saat salat asar, pikiran saya tidak konsen. Salat tapi pikiran ke mana-mana. Tiba-tiba terlintas nama: Disway. Dahlan Iskan Way. Cerita jalan hidup dan jalan pikiran Dahlan Iskan. Seperti judul buku: The Toyota Way. Itu saja yang disodorkan.
Segera saya kontak Mas Zaini mengabarkan nama Disway. Saya ingatkan agar segera siap-siap ketemu Pak Dahlan lagi.
Agar lebih lancar, saya belikan oleh-oleh kesukaannya. Seekor ingkung utuh: ayam kremes presto dari di Restoran Ny Lina.
’’Apa nama website-nya?’’ tanya Pak Dahlan.
’’Makan dulu Abah. Nanti setelah makan saya akan jelaskan. Pokoknya nama website ini saya temukan di tengah-tengah salat asar,’’ kata saya.
Pak Dahlan tiba-tiba tertawa. Mungkin jawaban saya lucu. ’’Berarti Anda tidak salat dengan khusyuk,’’ komentarnya.
Saya pun ikut tertawa.
Siasat berhasil. Pak Dahlan makan malam dengan lahapnya. Walau dengan porsi yang sangat sedikit. Saya dan Mas Zaini yang harus menghabiskan semuanya.
’’Apa nama website-nya?’’ tanya Pak Dahlan lagi.
’’Disway. Dahlan Iskan Way. Seperti The Toyota Way,’’ jawab saya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: