Nostalgia Disway
Selamat datang era metamorfosis media. Tema ini saya kira cocok untuk semua pelaku industri yang saat ini tengah menyiapkan perhelatan akbar: Hari Pers Nasional. Dari luar gelanggang, saya menulis sebuah catatan.
---
SAYA ingat hari ini empat tahun yang lalu: Bersama Mas Ahmad Zaini, Mas Nawie, dan Mas Gepeng, kami berjibaku menyelesaikan website Disway. Hari ini hingga tiga hari kemudian kami sibuk luar biasa.
Tidak peduli waktu. Handphone on terus. Grup WhatsApp dengan member empat orang itu terus meng-update informasi perkembangan Disway.
Mas Gepeng yang nama aslinya Julius mengerjakan website. Mas Nawie yang nama aslinya Edy Hermawan mengurus server. Saya mengedit 10 artikel pertama tulisan asli Pak Dahlan Iskan. Mas Zaini membuat web design dan ilustrasi gambar 10 artikel perdana. "Tanggal 9 Februari 2018 Disway harus online, tepat pukul 09.00 WIB,’’ kata Pak Dahlan.
Website Disway memang disiapkan sangat cepat. Hanya beberapa hari saja. Semua gara-gara Pak Dahlan yang masih ogah-ogahan menulis artikel. Saat saya datangi apartemennya di SCBD untuk memintanya menulis lagi. Ia tak goyah. "Saya sudah tidak mau menulis lagi,’’ jawabnya pada kunjungan pertama.
Saya tahu. Dari nadanya, ia kurang suka. Tapi saya tidak menyerah. Terus mencari akal agar ia setuju menulis lagi. Sedikit muter-muter tidak masalah.
Saya ganti topik. Cerita tentang teman-teman saya wartawan senior yang kebanyakan stroke. ’’Iya, kok banyak wartawan saat tua kena stroke ya?’’ kata Pak Dahlan.
Aha! Frekuensi Pak Dahkan sudah sama dengan saya. Berarti bisa masuk ke tujuan semula. ’’Kemungkinan karena mereka stres. Biasanya menulis. Tiba-tiba tidak menulis lagi karena tidak punya media,’’ jawab saya asal saja.
’’Masuk akal. Sebagai wartawan mereka mengelola banyak informasi. Sudah pensiun pun narasumbernya masih banyak yang memberi info. Pasti ingin menulis. Tapi tidak punya media. Stres,’’ sahut Pak Dahlan.
Ibarat main catur, saya sudah menjalankan pion: Open skak!
’’Abah harus hati-hati. Jangan sampai kena stroke karena tidak mau menulis lagi,’’ kata saya dengan keyakinan penuh, Abah menolak berarti skakmat!
’’Saya sudah tidak punya koran. Mau menulis di mana,’’ tanya Pak Dahlan setelah diam cukup lama.
’’Abah, hari gini mosok masih mau nulis di koran? Berapa orang yang masih mau baca koran? Hari ini zamannya membaca koran digital. Menulislah di website,’’ jawab saya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: