Survei Gombal

Survei Gombal

MASIH percaya dengan survei capres? Cerita sahabat saya ini bisa menjadi referensi, betapa dunia itu penuh kamuflase.

Ia mantan wartawan sejumlah media di ibu kota. Kini ia mengelola beberapa media online. Ia menyebut portal berita yang dikelolanya kelas dua. Bekerja sendiri, dibantu satu atau dua tenaga.

Saya mengontaknya setelah dikirimi link berita tentang survei yang dimuat di portal online milikya. Hasil survei itu: seorang ketua parpol menempati posisi teratas hasil survei capres. Tentu mengagetkan karena dalam beberapa survei lain, ketua umum itu hanya meraih satu koma. Bahkan cenderung nol koma.

Lho, di berita yang dikirimkan teman saya itu, si ketua umum parpol tersebut meraih 17,20 persen. Jauh meninggalkan Ganjar Pranowo yang ditulis hanya meraih 10,7 persen. Sosok populer lain seperti Anies Baswedan pun hanya meraih 3,4 persen.

”Hasil ini serius?” tanya saya. Tentu saja maksud saya serius itu, apakah proses media mendapatkan berita tersebut sudah benar? Apakah sebelum dimuat cek dan ricek dengan cara menelusuri lembaga yang melakukan survei diisi orang kredibel sehingga layak muat.

”Rilis angpao,” katanya, lantas tertawa lantaran membuka rahasia dapur.

Ia pun menceritakan, sekali muat cepek alias Rp 100 ribu. Setiap bulan selalu ada. ”Lumayan buat tambahan listrik,” katanya, lalu tertawa.

Berita yang ia terima sudah matang. Tak perlu utak-atik lagi. Tinggal di upload. Setelah berita tayang, barulah klien atau tim sukses capres tersebut mentransfernya.

”Kalau yang ini Rp 100 ribu sekali tayang. Ada juga yang 150 (ribu rupiah),” katanya, lantas menyebutkan ketua umum parpol lain. Nama itu juga sering disebut sebagai capres. Tentu dalam berita rilisnya yang berharga Rp 150 ribu itu, hasil surveinya di papan atas. Namun, dalam hasil survei lembaga kredibel, ia masih di papan bawah.

Ada ratusan media online yang masuk ke jaringan itu. Tersebar di seluruh Indonesia. ”Untuk yang di Jawa masing-masing satu kabupaten satu portal, kalau di luar jawa yang masuk jaringan rata-rata online lokal di kota provinsi,” katanya.

Targetnya, tentu media online semacam milik teman saya itu. Kalau di media mainstream, tentu caranya berbeda. Misalnya, advertorial dengan penyajian berbeda.

Nama portal online yang masuk jaringan tersebut pun kebanyakan menggunakan nama kota atau kawasan tersebut.

Itu cara membangun opini untuk membesarkan nama capres tersebut. Dalam teori Joseph Goebbels, menteri propaganda Nazi Jerman: berita yang salah, bila terus diulang, akan dianggap benar oleh publik.

Goebbels menciptakan berita yang memitoskan Adolf Hitler. Dan, terus dilakukan berulang. Akibatnya, sebagian besar masyarakat Jerman ketika itu –tertancap di kepala mereka– menganggap Hitler adalah pemimpin besar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: