Teroris Dibekuk, Keluarga Korban Disantuni
Kabag Bantuan Operasi Densus 88 Kombes Aswin Siregar saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (10/2), mengatakan:
"Keterlibatan SU ingin melakukan aksi amaliah dengan melakukan penyerangan terhadap kantor polisi."
SU diduga telah berbaiat ke Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Hal tersebut SU lakukan pada 2016. Jadi, dua orang ini sangat berbahaya.
Penangkapan para terduga teroris itu ditanggapi dingin oleh warganet. Di media massa online yang memberitakan itu, sepi komentar. Kolom komentar kosong. Atau terisi satu-dua komen. Sedangkan di medsos juga sepi.
Beda, misalnya, jika dibandingkan dengan sekitar enam tahun silam. Waktu itu keberpihakan warga terhadap terorisme masih terang-terangan. Ditampilkan di medsos. Keberpihakan masyarakat terhadap terorisme karena masyarakat berasumsi bahwa itu terkait agama.
Seiring waktu. Sosialisasi pemerintah tentang intoleransi, radikalisme, terorisme, mencerahkan pandangan masyarakat tentang teroris. Juga, aneka peristiwa terkait radikalisme di Indonesia yang akhirnya dirasa merugikan persatuan-kesatuan bangsa.
Kini respons warga terhadap teroris sudah wajar. Sebagaimana tertangkapnya penjahat biasa.
Pakar terorisme Jenderal (purn) A.M. Hendropriyono (mantan kepala Badan Intelijen Negara) menyatakan, perjalanan seseorang jadi teroris bermula dari: Sikap intoleran, radikalisme, akhirnya jadi teroris.
Diperinci: Intoleran, sikap anti keberagaman. Radikalisme sudah menyalahkan orang di luar kelompok mereka. Bahkan, tindak kekerasan radikal. Akhirnya jadi teroris.
Dari perspektif sosiologi, terorisme diurai dalam beberapa teori. Salah satunya teori konflik.
Profesor sosiologi Dalton Conley dari Henry Putnam University, Amerika Serikat, dalam bukunya, You May Ask Yourself: An Introduction to Thinking Like a Sociologist (2013), menyatakan:
Teori konflik adalah ”gagasan bahwa konflik antara kepentingan yang bersaing adalah kekuatan dasar, yang menjiwai perubahan sosial.”
Para ahli teori konflik memandang terorisme sebagai reaksi terhadap ketidakadilan, yang tercipta di benak para teroris.
Penyebabnya, karena kesesatan, buta huruf, atau tujuan yang tidak realistis. Yang disuntikkan para dalang terorisme. Bahwa perilaku kekerasan teroris adalah hasil dari frustrasi individu, agresi, atau menunjukkan kesiapan untuk bertarung.
Conley, di bukunya, berpendapat: Teroris menggunakan kekerasan karena mereka percaya, bahwa jika mereka tidak menggunakan kekerasan, mereka akan kehilangan perebutan kekuasaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: