Modal Nekat Dalang Generasi Kedua

Herdian Chandra Irawan adalah putra mendiang Thio Tiong Gie, dalang wayang potehi kenamaan asal Semarang. Padahal, Herdian sama sekali tidak pernah diberi warisan ilmu mendalang.
PADA zamannya, Thio Tiong Gie adalah dalang tersohor. Di dalam jagat wayang potehi, hampir setiap orang mengenal namanya. Lelaki kelahiran 1933 itu tidak hanya mendalang di Semarang. Banyak kota di berbagai penjuru Jawa yang pernah disinggahinya. Banyak pula dalang-dalang lebih muda yang mengaku sebagai muridnya. Atau mengaku terinspirasi dari Thio Tiong Gie.
Tetapi, inspirasi dan keterampilan teknis sebagai dalang itu justru tidak diwariskan kepada keluarganya. Herdian Chandra Irawan, anak kelima-putra ketiga—Thio Thiong Gie, masing ingat ucapan ayahnya: wayang potehi tidak akan saya turunkan ke anak-anak. Sebab, kesenian bukan mata pencaharian.
Maka, tujuh anak Thio Tiong Gie pun menempuh jalan yang berbeda dengan sang ayah. Anak-anaknya berbisnis. Semua punya bengkel las di kawasan pecinan Semarang. Sama sekali tidak ada yang berpikir bahwa mereka akan menjadi penerus kiprah sang ayah.
Tetapi, buah memang tak pernah jatuh dari pohonnya. Adalah Herdian yang akhirnya bersentuhan dengan wayang potehi. Awalnya pun tanpa minat.
Pada 2012, Thio Tiong Gie yang sudah berumur 79 tahun harus mendalang di Cianjur. ’’Saya nemeni Papa,’’ ucap Herdian. Itulah kali pertama Herdian mengikuti Thio Tiong Gie. Tugasnya bukan untuk menjadi jiju atau asisten dalang. Bukan pula bermain musik mengiringi sang ayah bermain
’’Saya itu ikut untuk bantu-bantu angkat panggung. Juga njaga Papa. Njaga kesehatannya,’’ kata lelaki kelahiran Januari 1970 tersebut.
Sudah. Itu saja yang dilakukan Herdian. Menjaga agar sang ayah—yang menderita diabetes tersebut—tidak terlalu capek. Agar kondisinya selalu fit saat mendalang.
Niatnya pun hanya itu. Bukan untuk secara khusus membelajari wayang potehi.
Kala itu, Thio Tiong Gie tampil di beberapa kota. Mulai Cianjur, Solo, Purwakarta, atau Sukabumi. Nah, di Sukabumi itulah Herdian kaget melihat suasana di pementasan. ’’Ada anak-anak kecil main-main di belakang panggung. Dan dibiarkan. Tidak dimarahi,’’ kata bapak dua anak tersebut.
Herdian ingat betul saat ia masih kanak-kanak. Yang tinggal di dekat kelenteng. Yang sering mementaskan wayang potehi. Herdian dan kawan-kawannya selalu ingin melongok-longok di balik panggung wayang. Kalau boleh, mereka akan meraih boneka milik sang dalang. Juga memukul-mukul alat musik saat sedang tidak ada pementasan.
’’Tapi, anak-anak itu malah dimarahi. Diusir. Disuruh pergi,’’ tutur Herdian.
Mungkin, anak-anak itu datang di waktu yang kurang pas. Sehingga, dalang dan pemain musik wayang potehi itu merasa terganggu. ’’Jadinya, pas ada wayang, ya malah ndak bisa mendekat. Takut diusir,’’ kata Herdian lantas tertawa.
Herdian menunjukkan boneka wayang potehi yang didapatkannya dari Toni Harsono, pegiat kesenian di Gudo, Jombang.
(Foto: BOY SLAMET-HARIAN DISWAY)
Dalam ’’perkenalannya’’ dengan wayang potehi pada 2012 tersebut, Herdian makin merasa dekat dengan kesenian yang lahir di Fujian, Tiongkok, tersebut. Terlebih, Herdian memang berada pada ’’ring 1’’ pentas. Ia punya akses sampai ke belakang panggung. ’’Saya duduk di belakang panggung, lihat Papa main. Lihat Papa berdialog. Sedikit-sedikit ada yang paham. Ada yang hafal,’’ ujar Herdian.
Maklum, tempat tinggal Herdian dengan dengan Kelenteng Tay Kak Sie, Semarang. Sehingga, saat ada pentas wayang potehi, ia kerap mendengar ceritanya. Ia juga sering mendengar su lam pek, semacam suluk dalam wayang kulit Jawa.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: