Wayang Diremuk oleh Dalang Jogja
Perkara ”melapor” ke polisi terus ngetren. Terbaru, soal wayang. Dilaporkan Sandy Tumiwa ke Mabes Polri, Selasa (15/2), tertolak. Diulangi Kamis (17/2), barulah diterima. Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) akan melaporkan kasus itu juga.
BAKAL jadi laporan bertumpuk. Untuk kasus yang sama. Jadi kelihatan emosional.
Ini efek medsos. Yang sampai hari ini masyarakat harus terus belajar. Menahan diri, supaya tidak terjadi konflik.
Kasus itu dari unggahan YouTube Ustad Khalid Basalamah, beredar pekan lalu. Isinya: Di suatu pengajian, ada jamaah bertanya kepadanya. Jamaah itu dalang. Mau tobat. Terus, harus bagaimana?
Dijawab Basalamah, wayangnya harus dibuang, dimusnahkan. Orangnya harus tobat. Bersungguh-sungguh. Tobat nasuhah. Tidak akan mengulangi lagi.
Kemudian heboh. Sudah dilaporkan Sandy Tumiwa selaku humas organisasi masyarakat bernama Setya Kita Pancasila (SKP) ke Mabes Polri.
Basalamah kemudian minta maaf, melalui Instagram. Juga menghapus YouTube wayang itu.
Dalam minta maaf, Basalamah menyatakan tidak menghina dalang. Tidak mengharamkan wayang. Tidak. Melainkan, karena ada jamaah bertanya soal itu. Maka, ia menjawab.
Tapi, masyarakat masih tidak terima. Tentunya, para dalang meradang. Merasa dihina. Kian hari kian menggumpal.
Melahirkan pergelaran wayang kulit yang emosional. Di Pondok Pesantren Ora Aji di Sleman, Jogjakarta, milik Miftah Maulana Habiburrahman alias Gus Miftah. Jumat malam, 18 Februari 2022.
Miftah di situ pidato. Mirip baca puisi. Isinya begini:
Begitu pandai iblis itu menyematkan imamah dan jubah dengan warna putih.
Seakan begitu suci tanpa noda, dengan menghitamkan yang lainnya.
Haruskah kuda lumping diganti dengan unta lumping? Atau haruskah gamelan diganti dengan rebana? Pohon kelapa diganti pohon kurma? Dan haruskah nama Nabi Sulaiman diganti karena mirip kata-kata Jawa?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: