Beda Persepsi ODOL Dijadikan Modus Pungli

Beda Persepsi ODOL Dijadikan Modus Pungli

JALAN Ahmad Yani, Surabaya, kemarin lumpuh total. Tidak ada satu pun kendaraan yang bisa melintas di sana. Di seluruh badan jalan terparkir ratusan truk. Mulai tikungan depan Mal City of Tomorrow (Cito) sampai di titik demo. Aksi mereka dilakukan di depan kantor Dinas Perhubungan (Dishub) Jatim.

Para demonstran itu datang dari berbagai daerah di Jawa Timur. Bahkan, ada yang dari luar Surabaya. Yaitu, Karawang, Madura, Mojokerto, Sidoarjo, Malang, dan Riau. Aksi digelar sejak pukul 08.00.

Aksi itu dilakukan lantaran mereka merasa sering menjadi korban. Ketidaksinkronan antara polisi lalu lintas dan dishub. Tentang penerapan UU No 22 Tahun 2009. Yakni, kebijakan tentang overdimension overload (ODOL).

”Kami selalu jadi korban. Kami ingin regulasinya diperjelas. Sebab, ada perbedaan persepsi antara dishub dan polisi,” kata Valeri, koordinator lapangan aksi, kemarin (22/2).

Bahkan, beberapa kali mereka dimintai uang oleh oknum polisi kalau tidak mau ditilang. ”Kadang kita dimintai Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu,” tambahnya.

Kondisi ketidaksinkronan antara polisi dan dishub itulah yang dijadikan celah untuk oknum melakukan pungli di jalanan. Pada dasarnya, mereka tidak mempermasalahkan kalau volume truk dikurangi.

Namun, masalah utamanya adalah para pengusaha tidak akan menggunakan jasa mereka. Pada akhirnya, mereka tidak lagi bisa mendapatkan uang. ”Siapa yang mau menggunakan jasa kita lagi. Rata-rata pengusaha yang kita layani ini pengusaha menengah ke bawah,” bebernya.

Pasca pengesahan UU itu pada 2015, sebenarnya sudah banyak gerakan yang dilakukan para sopir. Namun, setelah itu, kondisi langsung adem. Malah, banyak kendaraan yang panjangnya mencapai 12 meter. Semua bisa melintas.

Hanya, setelah Kementerian Perhubungan mengeluarkan pernyataan bahwa pada 2023 harus zero ODOL, kondisi semakin buruk. Para sopir di lapangan bukannya ditertibkan, malah diperas polisi. Pasalnya, polisi menganggap truk mereka adalah ODOL.

Secara teori, truk yang memiliki tinggi lebih dari 3,5 meter barulah disebut ODOL. Namun, kenyataannya, yang terjadi adalah kendaraan asal memiliki penutup di atas bak yang menyerupai atap yang ditutup dengan terpal sudah dikategorikan ODOL. Dengan begitu, mobil tersebut pasti ditilang polisi.

”Padahal, kalau mau diukur, itu tidak melanggar aturan. Karena itu, dishub memperbolehkan kami menggunakan itu (penutup). Tapi, polisi melarang. Dulu kita pernah dipertemukan seperti ini. Tapi, tetap tidak ada hasil. Kami yang selalu menjadi korban,” tegasnya dalam ruang rapat dishub.

Ia meminta kebijakan ODOL itu segera direvisi. Sebab, itu selalu menjadi celah petugas kepolisian di jalan. Mediasi tersebut dipimpin Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Sekda Provinsi Jatim Benny Sampirwanto.

Dalam pertemuan tersebut, Benny sempat menawarkan kepada para sopir untuk mempertemukan pengusaha, polisi, dan dishub. Termasuk para sopir. Dalam pertemuan itu, akan didiskusikan jalan tengah dari permasalahan yang dialami para sopir tersebut. Minimal untuk wilayah Jatim dulu.

Sebab, penindakan di lapangan dilakukan polisi. Saat itu sempat terjadi perdebatan tanpa ujung. Para perwakilan demonstran merasa pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi. Karena itu, mereka memutuskan keluar ruangan sebelum pertemuan berakhir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: