Wayang Toa
Lantas, muncul kelompok baru yang para ustadnya sangat aktif di media sosial. Mengajarkan agama yang sangat kaku dan tekstual. Yang lebih eksklusif sifatnya. Yang sering menganggap di luar mereka kafir dan sesat.
Kelompok itu beririsan dengan kelompok Islam politik. Yang bermimpi menciptakan kepemimpinan Islam secara global. Yang berlawanan dengan konsensus kebangsaan Indonesia yang majemuk.
Itulah yang membuat ruang perbedaannya makin luas. Bagi NU dan Muhammadiyah, persoalan Islam dalam kerangka politik kebangsaan sudah final. Sedangkan kelompok baru itu masih sering mempersoalkannya.
Sebetulnya, kegaduhan soal wayang bukan hanya masalah haram dan halal. Itu lebih ke soal ancaman terhadap konsensus kebangsaan yang telah dianggap final bagi mayoritas bangsa Indonesia.
Salah jika melihatnya sebagai persoalan agama semata. Itu soal benturan kebudayaan. Antara paham ke-Islam-an yang eksklusif dan budaya Jawa. Paham yang mengharamkan wayang, produk budaya Jawa.
Tentu saja fatwa haram itu seperti mencerabut akar budaya. Sehingga timbul kegalauan. Apalagi, ini seni tradisi yang menjadi hiburan rakyat bawah. Orang-orang yang tak bersuara.
Sementara itu, penataan toa pun akhirnya merembet menjadi isu politik. Sebenarnya, ide penataan toa masjid tersebut sudah sangat lama. Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla pernah melontarkannya.
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, cucu pendiri NU, malah sudah pernah menulis soal itu tahun 1980-an. Ketua umum PBNU yang pernah menjadi presiden RI tersebut juga menggelisahkan azan dengan sound system. Ia sebut azan kaset.
Departemen Agama melalui Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji pernah mengeluarkan SE yang sama. Pada tahun 1978. Yang isinya mengatur penggunaan pengeras suara di masjid.
Baru setelah Menteri Agama Yaqut mengeluarkan SE, riuh keruh mencuat. Bahkan, ada yang melaporkannya sebagai penistaan agama. Gus Yaqut yang juga Ketum Ansor menjadi sansak hidup di media sosial. Dengan segala pelintiran informasi yang liar.
Malah ada yang mendesak Presiden Joko Widodo untuk memecat menteri agama. Respons terhadap SE menteri agama bukan pada substansi penataan toa masjid. Tapi, lebih mengedepankan ”dendam” politik. Padahal, banyak yang setuju dengan penataan itu.
Rasanya kita memang masih senang dengan segala hal yang tak substantif. Kita masih sering mencampuradukkan Islam dengan ke-Islam-an. Lah, apa bedanya? Islam adalah tata nilai yang diturunkan Tuhan melalui Nabi Muhammad.
Sedangkan ke-Islam-an adalah berbagai pemaknaan atas teks dan segala perilaku Nabi Muhammad. Karena pemaknaan, sangat mungkin antara satu dan lainnya berbeda.
Pemaknaan itulah yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab. Bahkan, firqah alias kelompok-kelompok di kalangan muslim. Pemaknaan selalu berkembang sesuai dengan ruang dan waktu.
Tanpa pengaturan pun, syiar Islam perlu menggunakan cara hikmah. Itu pendapat mayoritas ulama dan umat. Azan yang dianggap sebagai bagian dari syiar Islam juga harus demikian: Jalan bijak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: