Nurhayati di Bal-balan Korupsi Desa Citemu

Nurhayati di Bal-balan Korupsi Desa Citemu

Meski ada ”bal-balan” saling-silang antara kepolisian-kejaksaan di sini, belum diketahui, adakah unsur kesengajaan atau tidak.

Adagium hukum mengatakan: In dubio pro reo. ”Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”

"In dubio pro reo" di Indonesia sering digunakan Mahkamah Agung (MA) dalam memutus perkara.

Tertuang dalam Putusan MA No 33 K/MIL/2009. Salah satu pertimbangannya menyebutkan begini:

"Jika terjadi keragu-raguan, apakah terdakwa salah atau tidak, maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi terdakwa. Yaitu, dibebaskan dari dakwaan. Hal ini sesuai asas in dubio pro reo."

Nurhayati belum terdakwa. Baru tersangka. Yang sudah dicabut lagi.

Tapi, bukankah mustahil, seseorang bersalah (korupsi) dalam suatu perkara korupsi, lalu dia melaporkan orang lain di kasus tersebut kepada polisi? Kan bunuh diri?

Beda dengan, misalnya, beberapa orang ditangkap penyidik dalam satu kasus korupsi. Lantas, salah satu tertangkap mengungkap detail korupsi yang belum diketahui penyidik.

Itu namanya whistle-blower. Peniup peluit. Digambarkan sebagai wasit pertandingan bola, meniup peluit. Tanda ada pelanggaran.

Whistle-blower sudah ditangkap duluan, barulah ”menyanyi”. Demi keringanan hukuman. Sedangkan Nurhayati orang pertama melapor. Sebelum ada perkara hukum.

Mengapa di perkara korupsi penyidik sering keliru menerapkan perintah hukum? Apakah terlalu rumit?

Jawabnya, yang paling tahu adalah penyidik sendiri. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: