We Cancervive: Belajar dari Kisah Titiek Puspa dan Ika Damajanti

We Cancervive: Belajar dari Kisah Titiek Puspa dan Ika Damajanti

Ada kesamaan kisah antara Titiek Puspa dan Caroline Ika Damajanti. Sama-sama pernah menderita kanker. Kisah itu dibagikan dalam acara bertajuk We Cancervice yang dipandu Founder Harian Disway Dahlan Iskan di Mayapada Hospital Surabaya (26/2).

---

Caroline Ika Damajanti terkena kanker payudara di usia 28 tahun. Sekitar 21 tahun yang lalu. Beberapa bulan setelah dia menikah. Dia merasa ada benjolan di payudaranyi. Saat itu dia tidak menyadari bahwa itu adalah sel kanker yang sedang tumbuh. Dibiarkan begitu saja karena di garis keturunan tidak pernah ada riwayat kanker.

Karena kepercayaan diri itu, dia meremehkan benjolan yang muncul. Ika tak lantas ke dokter untuk memeriksakan diri. Baru pada, Oktober 2000, Ika merasakan nyeri pada payudara dan begitu merabanya ternyata benjolan itu lebih besar dari biasanya. Setelah muncul rasa sakit, dia baru ke dokter.

Ternyata kanker. Stadium dua. Karena itulah dia menyadari pentingnya upaya periksa payudara sendiri (sadari). ”Karena kalau masih stadium awal, kemungkinan untuk survive lebih besar,” kata perempuan yang sudah belasan tahun jadi aktivis kanker payudara itu.

FOUNDER Harian Disway Dahlan Iskan (kiri) memandu talk show yang menghadirkan Caroline Ika Damajanti dan dr I Putu Agus Suarta di Mayapada Hospital Surabaya (26/2/2022). Narasumber lainnya, Titiek Puspa dan dr Agus Ali Fauzi hadir secara online. (Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)

Permasalahan setelah divonis kanker adalah sulit dapat momongan. Sebab, dia harus menjalani kemoterapi. Ika pun bertanya ke dokter apakah ada pasien terapi kemo bisa hamil. Sepengetahuan dokter, belum ada.

Kehamilan bisa membahayakan ibu dan calon bayinya. Sebab, hormon perempuan yang sedang mengandung berlipat ganda. Itu bisa memicu sel kanker untuk berkembang.

Baru setelah 7 tahun berjuang melawan kanker, kabar bahagia akhirnya datang. Ika hamil. Selama kontrol ia harus ke dua dokter. Yakni, dokter kandungan dan onkologi. ”Alhamdulillah anak saya sekarang sudah SMP. Bahkan kalau saya ada acara, dia ikut kampanye tentang kanker,” ujar ibu satu anak itu.

Survivor kanker serviks Titiek Puspa juga awalnya meremehkan gejala awal. Muncul bercak darah seperti menstruasi. Dia sempat heran karena saat itu usianyi sudah 73 tahun. Namun penyanyi kelahiran Tanjung, Kalimantan Selatan itu tidak memeriksakan diri karena tidak pernah sakit aneh-aneh. “Ah, kenapa periksa. Enggak kena apa-apa kok,” ujar pelantun lagu Apanya Dong itu.

Untung, sang anak memaksanyi ke dokter. Setelah diperiksa ternyata ada kanker yang sudah stadium satu setengah. Titiek tidak kaget. Karena kanker sudah menyerang ayah, ibu, dan kakaknya. “Oh, saya dapat juga toh,” lanjutnyi.

Dia langsung ke Singapura. Bulan tidak percaya dengan dokter di Indonesia. Namun, dia mencari dokter ahli kanker perempuan. Ahli kebidanan, kemoterapi, dan radiologi menyimpulkan hal yang sama: kanker stadium satu setengah. Sama seperti kata dokter di Jakarta.

LAWAN KANKER (dari kiri) Business Manager Harian Disway Vanessa Valerie, Dahlan Iskan, Caroline Ika Damajanti, dr I Putu Agus Suarta, dan Direktur RS Mayapada Surabaya Irawati Marga. (Foto: Julian Romadhon-Harian Disway)

Setelah dua setengah bulan menjalani terapi di Singapura berat badannyi naik. Dari 60 kilogram ke 84 kilogram. Agak aneh. Sebab dokter sudah bilang, efek kemoterapi adalah menghilangkan nafsu makan. Titiek malah minta makan setiap dua jam sekali.

Setelah kemo, muncul rasa sakit yang luar biasa. Bahkan dia berada di titik sangat pasrah. Kalau memang Tuhan sudah memanggil, dia sudah siap. ”Tapi kalau Tuhan masih membutuhkan saya harus tetap bekerja di dunia ini, tolong beri saya isyarat. Itu sakitnya luar biasa. Tidak pernah ada sakit seperti itu. Belum pernah,” kata Titiek secara daring.

Sakitnya tidak membaik, tapi Titiek tiba-tiba meminta pulang ke Jakarta. Ngapain? Titiek juga tidak tahu. Pokoknya malam itu dia minta semua berkemas-kemas.

Sampai suatu saat Titiek dikenalkan dengan terapi meditasi. Terapinya cuma duduk, tangan di atas paha, dan mata ditutup. Napas dari hidung, sedangkan lidah dilipat ke langit-langit. Kalau ada air liur yang keluar harus ditelan. Karena itu enzim yang dibutuhkan tubuh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: