Pemaksaan Iuran BPJS

Pemaksaan Iuran BPJS

BPJS Kesehatan kini jadi segala-galanya. Bagaimana tidak. Tanpa kepesertaan BPJS, masyarakat akan kesulitan untuk menjalani hidup sehari-hari. BPJS akan menjadi syarat berbagai layanan publik. Tanpa BPJS, masyarakat tak akan dilayani mengurus SIM, surat keterangan catatan kepolisian (SKCK), STNK, hingga jual beli tanah. Bahkan haji dan umrah.

Bisa jadi, bukan hanya layanan itu. Sebab, Inpres No 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mengamanatkan kepada 30 kementerian dan lembaga untuk ”mengamankan” BPJS. Targetnya, 98 persen penduduk mengikuti JKN. Karena itu, bisa jadi,  BPJS akan menjadi syarat semua layanan publik.

Dalam pandangan pemerintah, inpres itu akan membuat program jaminan sosial nasional bakal sukses. Per November 2020, kepesertaan BPJS Kesehatan telah mencapai 229,5 juta. Itu berarti mencapai 84 persen dari 273 juta penduduk (Desember 2021).

Dari sekitar 230 juta peserta, hingga November 2021, pendapatan iuran JKN-KIS mencapai Rp 124,89 triliun dan diperkirakan mencapai Rp 137 triliun hingga akhir 2021. Sementara itu, klaim pembayaran BPJS ”hanya” Rp 80 triliun. Artinya, BPJS Kesehatan masih untung cukup besar.

BPJS Kesehatan sebenarnya adalah asuransi. Dalam hal ini, pemerintah tak ubahnya menjadi koordinator asuransi saja. Dengan jumlah peserta yang mencapai ratusan juta. Dalam bisnis asuransi, tentunya size of business menjadi sangat penting. Jumlah peserta yang besar akan membuat risiko makin kecil. 

Secara matematis, probabilitas klaim (risiko) akan makin rendah saat jumlah  peserta kian besar dan menjadi nol saat jumlah (peserta) tak terhingga. Data BPJS selama Januari–November 2021 menunjukkan tingkat klaim rawat inap tingkat lanjut (RITL) cukup rendah. ”Hanya” 7,28 juta atau sekitar 3,1 persen. Sementara itu, rawat jalan tingkat lanjut (RJTL) 64,7 juta dan RJ tingkat pertama 281,9 juta.

 

Bukan Hanya Butuh Sehat

Pemaksaan kepesertaan BPJS tu memang akan sangat baik bagi manajemen BPJS. Risiko akan makin rendah dan pengelolaan akan kian efisien. Tapi, apakah benar lantas menjadi sejahtera begitu menjadi peserta BPJS?

Bagi masyarakat, sehat memang sangat penting. Namun, sejahtera bukan hanya memperoleh rasa aman jika sakit. Masyarakat juga memerlukan rasa aman yang lain. Aman dari kekhawatiran tidak bisa membayar kebutuhan rumah tangga, papan, sandang yang layak, dan pendidikan. Bahkan, rasa aman dari ketakutan tak bisa membayar BPJS.

Sekarang ketiadaan rasa aman itu bertambah lagi. Masyarakat berpenghasilan rendah akan khawatir tak bisa memperoleh layanan publik. Tak bisa mengurus SIM, SKCK, STNK, dan layanan publik yang lain.

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, iuran BPJS bukan murah. Apalagi, bagi sebagian besar masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari sektor nonformal. Jualan kaki lima, usaha mikro, atau kerja serabutan yang pendapatannya tidak pasti.

Sebuah keluarga peserta BPJS Kesehatan mandiri dengan tiga anak, misalnya, berarti harus menyiapkan dana minimal Rp 185.000 per bulan. Sebab, iuran kelas III adalah Rp 42 ribu per orang. Disubsidi pemerintah Rp 7.000, sehingga peserta membayar Rp 35.000.

Bagi keluarga sederhana, Rp 185 ribu itu tidak murah. Sebab, itu harus dibayar setiap bulan. Bagi petani kecil, apalagi. Yang hanya mengandalkan penghasilan dari panen atau buruh tani. Yang setahun mungkin hanya tiga bulan memperoleh hasil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: