Selamat Jalan Abah Khotib, Buku-bukumu Jadi Kado Perpisahan

Selamat Jalan Abah Khotib,  Buku-bukumu Jadi Kado Perpisahan

Menjelang sekitar pukul 16.00 sore, akun facebook Abah Khotib terlihat aktif. Seperti kebiasaannya, ia memposting beberapa foto dirinya di lokasi pelayanan tes PCR RS PHC Surabaya. Disertai keterangan: “Update jam 16.35, hasil tes negatif. Alhamdulillah”.

Itu postingan Selasa (1/3) lalu. Seperti postingan status-statusnya yang lain selalu banjir komentar dari teman-temannya. Ia harus tes PCR untuk persiapan operasi katarak esok hari.

Dan tentu saja postingan itu berseliweran di beranda facebook saya. Lalu berita duka datang di akun facebook-nya pula. Tepat pukul 20.37 malam, akun itu update status lagi. Berkirim kabar bahwa Abah Khotib meninggal.

“Itu saya yang bikin postingan. Ngabari kalau Papa sudah meninggal. Karena beliau kan aktif sosmed,” kata Azmy Nafi, putera ke-3 Abah Khotib. Kepergian lelaki 71 tahun itu memang mengejutkan. Tak hanya bagi keluarga, tetapi juga kawan-kawannya.

Tak ada pertanda apapun. Seharian itu aktivitas Abah Khotib juga seperti hari-hari biasa. Bahkan sore menjelang maghrib, ia masih makan tahu tek di warung tetangganya. Kemudian setelah isya’ pukul 19.00 pamitan ke rumah karibnya di kawasan Pabean Cantian.

“Di hape-nya, terakhir foto di rumah Pak Mansyur itu pukul 19.38,” kata Okky, panggilan akrab dari Azmy Nafi. Abah Khotib terlihat duduk melingkar bersama 6 kawan lainnya di karpet coklat ruang tamu itu. Tiba-tiba pukul 19.50 ia mengeluh kepalanya nyeri. Seketika langsung ambruk.

Tubuhnya dibaringkan. Nafas yang berat mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Abah Khotib pun langsung dilarikan ke RS Al-Irsyad. Dokter menyatakan nyawanya tak tertolong sejak sebelum dibawa ke rumah sakit.

“Ke rumah sakit untuk memastikan saja. Papa juga tak punya riwayat penyakit jantung. Alhamdulillah ternyata proses meninggalnya mudah,” kata Okky saat dijumpai di rumah duka Gang Ampel Menara usai pemakaman ayahnya, Rabu (2/3) siang.

Abah Khotib dikenal sebagai sosok pengayom. Ia menjabat Ketua RW selama 42 tahun. 02 Sejak masih perjaka hingga memiliki 4 anak cucu. Bahkan mungkin terlama se-antero Surabaya.

Di usia senja, ia pun masih energik. Kecintaannya terhadap sejarah lokal tak diragukan. Ia mendapat jabatan penting di beberapa komunitas sejarah. Mengepalai Pokdarwis Kampung Ampel. Juga menjadi Dewan Pengawas di Forum Begandring Soerabaia.

Akhir Januari lalu, teman saya menulis soal Tim Cagar Budaya Jawa Timur yang mengajukan audiensi soal penamaan Alun-Alun Surabaya. Tulisan itu saya kirim via Whatsapp ke Abah Khotib. Ia antusias sekali.

“Penamaan itu memang ngawur. Mbok ya didiskusikan dulu,” kata Abah Khotib. Sejak lama ia merasa gatal terkait persoalan itu. Menurutnya, Balai Pemuda itu tak layak dijadikan sebagai Alun-Alun Surabaya. Sebab, alun-alun bukan tentang bangunan belaka. Tetapi juga menyangkut histori dari suatu wilayah.

Kalau sudah berbincang sejarah lokal, Abah Khotib sulit dihentikan. Seni tuturnya juga selalu menyala-nyala. Apalagi jika main ke rumahnya. Ia mesti menyalakan tv datar 65 inchi itu. Ratusan slide dari puluhan folder tentang gambaran masa lalu Kampung Ampel bakal disuguhkan ke Anda.

Di sofa empuk abu-abu itulah sering diduduki oleh tamu-tamunya dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, anggota dewan, pegiat sejarah, hingga pejabat eksekutif. Biasanya Abah Khotib tak sendiri. Ia ditemani Naziel, cucunya yang masih lima tahun untuk ditugasi memotret bareng para tamu. Dan tentu saja diunggah ke akun facebook-nya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: