Merapal Mantra yang Menyembuhkan

Merapal Mantra yang Menyembuhkan

Sandhor, sebuah ritus yang mentradisi di Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Jember, dihidupkan kembali. Didukung Alit Indonesia, warga menggiatkannya saat menggelar upacara Rokatan yang terkait dengan pembangunan rumah Pacenan, sebuah bangunan adat khas Jember. Mengapa Alit Indonesia menggagas ide ini?

Nasi pohong, atau olahan singkong yang dikukus dan ditumbuk, disajikan di ruang utama rumah Pacenan. Berikut sajian lainnya, seperti nasi pohong yakni makanan berbahan singkong kering dikukus dan ditumbuk halus.

Ada pula sayur ontong, ikan asin air tawar, telur dadar, lalapan daun ketela, sayur rebung dan jajanan semacam jenang warna hijau yang terbuat dari ketan. Tak ketinggalan berbagai piranti rokatan seperti bunga mawar melati yang diletakkan dalam dua wadah, serta piranti lainnya.

Mawar menjadi tanaman utama yang banyak ditanam warga Klungkung. Tanaman tersebut kerap dikirim untuk kebutuhan masyarakat Jember terkait ritus atau upacara di sana.

”Jenisnya mawar Damaskus. Orang se-Jember kalau beli mawar ya dari Desa Klungkung,” ujar Yuliati Umrah, founder Alit Indonesia, yayasan yang bergerak di bidang pemberdayaan anak, juga pemberdayaan masyarakat berikut pelestarian tradisi sebagai karakteristik sebuah daerah.

Siang itu, Yuliati bersama tim Alit Indonesia dan warga setempat melaksanakan ritual Rokatan. Sebagai wujud syukur atas pembangunan rumah Pacenan. Sebelum Alit Indonesia membangunnya, hanya ada satu rumah Pacenan di Dusun Mujan. Milik seorang nenek tua yang hidup sendiri.

Yuliati Umrah bersama tim Alit Indonesia dan warga setempat saat melaksanakan ritual Rokatan di ruman Pacenan yang selesai dibangun. Rokatan dimaksudkan sebagai wujud syukur atas pembangunan rumah adat Jember tersebut. Alit Indonesia membangunnya untuk melestarikannya.

”Ketika kami kemari, kami melihat kekhasan rumah Pacenan. Saya menghubungi beberapa pakar tradisi sekaligus kolektor benda antik. Untuk melestarikannya kami harus membangun satu rumah Pacenan lagi,” ungkapnya.

Rumah itu sebagian besar terbuat dari bambu. Arsitekturnya mencerminkan paduan dari gaya Jawa-Tionghoa. Paling kentara adalah bentuk pagar rumah tersebut.

Dalam sejarah, rumah Pacenan banyak digunakan warga setempat sebagai tempat tinggal. Khususnya sebelum zaman kolonial Belanda.

Setelah Belanda datang dan menduduki Jember, mulai dibangun rumah-rumah berdinding bata dan semen. Muncullah anggapan bahwa rumah Pacenan adalah rumah orang miskin.

”Anggapan itu meluas bertahun-tahun. Akibatnya, rumah Pacenan banyak dihancurkan, diganti rumah-rumah modern. Jarang yang membangun rumah Pacenan,” keluh Yuliati.

Meskipun rumah itu sempat mendapat stigma sebagai rumah orang miskin nyatanya pembangunannya tak murah. ”Mahal lho. Apalagi mencari perabotan-perabotan original yang biasanya ada dalam rumah Pacenan. Menelan biaya cukup banyak,” ujar perempuan 47 tahun itu.

Ketika berkunjung ke Klungkung itulah, tim Alit Indonesia menjumpai ritus asli desa tersebut, yakni Sandhor. ”Anak-anak muda setempat menunjuk saya bahwa pelestarinya hanya tinggal seorang,” terang Yuliati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: