Tak Tahu Arti, Tak Berani Bahasa Hokkian

Tak Tahu Arti, Tak Berani Bahasa Hokkian

Soni Frans Asmara adalah salah satu kru kelompok wayang potehi Fu He An yang tampil di Kowloon, Surabaya, 12 Februari. Ia adalah dalang bertalenta. Usianya terbilang muda. Darah seni juga mengalir dalam tubuhnya.

DALAM penampilan pada malam perayaan Imlek Paguyuban Sosial Marga Tionghoa (PSMTI) Jatim, 12 Februari, itu Soni Frans Asmara tidak mendalang. Ia jadi panjak. Juru musik. Alat musik yang dipegangnya cukup istimewa. Yakni, yangqin (揚琴).

Yangqin adalah instrumen melodi dengan banyak senar. Antara 7-18 set. Senar itu ada di bagian atas yangqin. Membunyikannya dengan dipukul. Persis seperti piano. Karena itu, yangqin juga kerap disebut sebagai Chinese Piano. Piano dari Tiongkok.

Bedanya, alat pemukul senar pada piano terletak di bagian dalam dan digerakkan oleh tuts yang ditekan oleh pianis. Sedangkan pemukul yangqin dibawa oleh pemainnya. Memukul itu kecil. Lentur. Ada semacam busa agak keras di ujungnya.

Jika dipukulkan pada senar, pemukul itu terasa memantul. Demikian pula bunyinya. Panjang. Seperti menggema.

Ketika pemukul itu menari-nari pada dawai, muncullah nada-nada pentatonis khas Tiongkok. Nadanya adalah 1 (do), 2 (re), mi (3), sol (5), dan la (6). Dalam terminologi musik Tionghoa, nada itu disebut sebagai gōng (宫), shāng (商), jué (角), zhǐ (徵) dan yǔ (羽). Jika Anda pernah mendengar musik tradisional Tiongkok, ya nada-nada itu yang dimainkan.

Soni paham betul cara memainkan yangqin. Maklum, ia bukan orang baru dalam jagat wayang potehi. Ayahnya, Sesomo, adalah seorang sehu kenamaan sampai sekitar 15 tahun silam. Toni Harsono, pemimpin Fu He An sekaligus inisiator Museum Potehi Gudo, mengakui kemampuan Sesomo. ’’Pak Sesomo ini cukup legendaris di Jombang,’’ kata Toni.

Sesomo adalah dalang kelahiran Surabaya pada 1945. Masa kecilnya dihabiskan di sebuah rumah di dekat kelenteng yang selalu menggelar wayang potehi. Sesomo pun tertarik menonton. Sejak usia 12 tahun, Sesomo sudah berlatih memainkan musik dan wayang potehi. Lama kelamaan, ia mengikuti panggilan kodrat tersebut: menjadi dalang. 

Panggilan itulah yang kini dilanjutkan oleh Soni Frans Asmara. Ia juga bersentuhan dengan wayang potehi secara alami. Karena sering melihat sang ayah mendalang. Sering pula menonton wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong, Gudo. Akhirnya, pria kelahiran 22 Maret 1977 itu pun menjadi seniman wayang potehi.

Soni yang Jawa tulen itu mengaku punya banyak keterbatasan dalam mendalang. ’’Su lam pek (suluk) saya terbatas,’’ katanya.

Suluk itu memang baku. Diucapkan dalam bahasa Hokkian. Bahasa yang tidak pernah dipelajari Soni secara formal. Semuanya berdasar ucapan turun-temurun pada dalang. Yang mungkin pengucapannya sudah melenceng dari bahasa aslinya di Provinsi Fujian, Tiongkok, sana.

Soni pun membatasi dirinya. ’’Saya tidak berani mengeluarkan kata-kata yang tidak tahu artinya,’’ ucap Soni. Karena itu, Soni pun rela ketika ia harus tampil bukan sebagai dalang. Tetapi sebagai pemain musik. Toh ia juga mumpuni di situ.

Kata Soni, ia terbilang jarang bermain di tempat umum. Mungkin hanya penampilan internal di kelenteng. Tatkala wayang potehi dimainkan sebagai persembahan hiburan untuk para leluhur dan dewa. ’’Karena saya punya kesulitan di bahasa itu,’’ ujar Soni.

Memang, ia tidak mau melepaskan diri begitu saja dari kesenian wayang potehi. ’’Saya ini cinta musik Tiongkok. Enak sekali dimainkan,’’ katanya di sela-sela penampilan di Kowloon malam itu. Secara mandiri, Soni juga terus belajar musik khas pertunjukan di Tiongkok tersebut. ’’Lewat YouTube belajarnya,’’ aku Soni.

YANGQIN, alat musik dengan banyak dawai, yang dimainkan Soni pada 12 Februari.
(Foto: Boy Slamet-Harian Disway)

Ia menyadari bahwa hidup sebagai seniman tidak akan bergelimang kemewahan. ’’Jadi seniman itu capek,’’ tutur Soni. Rasa lelah itu lantas dilawannya. Tidak dengan mandek berkreasi. Tetapi dengan menciptakan kreasi anyar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: