Risiko Skema Biaya Haji

Risiko Skema Biaya Haji

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

JAMAAH haji 2022 sudah mulai diberangkatkan akhir pekan lalu (4/6). Harus disyukuri, semua berjalan sesuai rencana. Meski, sepekan jelang pemberangkatan ini, muncul persoalan besar. Ada tambahan biaya haji yang signifikan. Lebih dari Rp 1,5 triliun.

Yang terbesar adalah adanya kebijakan Kerajaan Arab Saudi musim haji 1443 H pada layanan masyair. Yaitu, pelayanan pada puncak haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina. Biayanya membengkak dari Rp 5,94 juta per jamaah menjadi Rp 21,98 juta.

Dengan jumlah jamaah 100.051 orang, biayanya membengkak hingga Rp 1,463 triliun. Ditambah biaya petugas haji daerah dan pembimbing KBIH, biaya technical landing jamaah haji embarkasi Surabaya, tambahan biaya jamaah haji khusus, dan selisih kurs, totalnya menjadi Rp 1,5 triliun.

Persoalan itu memang akhirnya teratasi. Jamaah haji tidak perlu menambah biaya. Waktunya sangat mepet. Kekurangan itu ditambal dari subsidi nilai manfaat pengelolaan haji Rp 724 miliar dan dana efisiensi penyelenggaraan haji Rp 739,8 miliar. Selesai dan jamaah haji bisa diberangkatkan.

Meski bisa diatasi pemerintah, persoalan itu harus menjadi pelajaran penting bagi pemerintah. Biaya haji semestinya ditetapkan setelah seluruh biaya penyelenggaraan sudah final. Harus dilakukan pembicaraan menyeluruh, termasuk dengan Kerajaan Arab Saudi, jauh hari sebelum penyelenggaraan ibadah haji.

Selain itu, persoalan tersebut harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah dalam penghitungan biaya haji dan model subsidinya. Juga, terutama Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) dalam kebijakan investasi dan penggunaan hasil investasinya.

Beruntung, membengkaknya biaya jamaah haji itu untuk jamaah yang sebenarnya kurang dari separuh kuota normal. Jika jumlah normal, sekitar 220 ribu, bisa jadi kekurangan biaya haji mendekati Rp 3,5 triliun. Dari mana pemerintah akan menutup kekurangan itu?

Dari hasil investasi dana haji? Terlalu berisiko. Sebab, selama ini dana hasil investasi sudah memiliki posting tersendiri. Yaitu, menyubsidi biaya haji yang kira-kira mencapai Rp 35 juta per jamaah. Untuk tahun ini, biaya ibadah haji ditetapkan Rp 39,8 juta per orang. Dengan subsidi sekitar Rp 35 juta, kemungkinan biaya riilnya mencapai Rp 74 juta.

Dengan tambahan biaya masyair sekitar Rp 16 juta (dari Rp 5,94 juta menjadi Rp 21,98 juta), biaya riil bisa mencapai Rp 90 juta. Artinya, subsidi per jamaah mencapai Rp 51 juta. Dengan masa tunggu rata-rata 10 tahun, berarti jamaah menikmati hasil investasi sekitar 200 persen dari setoran awal Rp 25 juta. Atau rata-rata keuntungan 20 persen per tahun.

Kondisi itu menjadikan sistem dan pengelolaan dana haji menjadi sangat berisiko. Tidak masuk akal. Mengapa? Berdasar catatan Kemenag, hasil rata-rata investasi dana haji hanya sekitar 5,4 persen per tahun. Sebab, memang BPKH juga harus hati-hati mengelola sehingga dibatasi dengan PP.

Menurut PP Nomor 5 Tahun 2018, tidak semua dana haji bisa diinvestasikan jangka panjang. BPKH harus menyediakan dana setara dua kali penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Rata-rata, BPKH memiliki aset lancar setara lebih dari 3 kali biaya haji. 

Instrumen investasi yang dibolehkan pun yang harus sangat aman dan sesuai syariah. Yaitu, surat berharga syariah (saham, sukuk, reksa dana), emas, hingga deposito bank syariah dengan porsi investasi yang diatur dalam peraturan pemerintah tersebut. Regulasi itu diperlukan untuk mengelola risiko sehingga dana haji tetap aman. Konsekuensinya, investasi dana haji tidak bisa menghasilkan return yang tinggi. High risk, high return; low risk low return.

 

Kurangi Subsidi

Model subsidi biaya haji ini memang berisiko dalam sistem pembiayaan haji. Sebab, mengharapkan hasil investasi yang tinggi dan aman tentu tidak mudah. Juga tidak pasti. Sementara, hasil investasi itu dipastikan untuk menyubsidi biaya haji. Belum lagi jika ada pembengkakan biaya seperti yang terjadi pada biaya haji 2022 ini.

Karena itu, ke depan subsidi harus dikurangi dan pada saatnya dihapus. Tahun ini, dengan pembengkakan biaya, lebih dari separuh dari hasil investasi haji digunakan untuk menyubsidi. Padahal, masih ada puluhan tahun ke depan yang juga harus disubsidi. Jika hasil investasi haji menurun, karena kondisi ekonomi misalnya, itu akan berisiko bagi subsidi haji di tahun-tahun mendatang.

Kehalalan model subsidi itu bagi sebagian calon jamaah juga diragukan. Sebab, mereka menerima subsidi dari hasil pengelolaan uang calon jamaah tahun-tahun berikutnya yang disetor ke BPKH. Saat menyetor, jamaah mewakilkan kepada BPKH untuk mengelola uang setoran haji tersebut.

Yang lebih logis, uang untuk menyubsidi itu adalah hasil pengelolaan uang setoran calon jamaah yang bersangkutan. Sebagai contoh, jika seseorang menunggu 10 tahun, yang seharusnya diterima adalah hasil pengelolaan dari uang setoran haji selama 10 tahun tersebut. Bukan hasil dari pengelolaan uang calon jamaah haji berikutnya.

Banyak manfaat dengan pengurangan atau penghapusan subsidi. Biaya haji akan menjadi mahal sehingga pendaftar haji akan berkurang. Itu tak masalah karena haji adalah rukun Islam yang memang diwajibkan kepada yang mampu saja. Antrean haji pun menjadi lebih rasional. Tidak seperti sekarang yang sudah mencapai 50 tahun di daerah tertentu.

Selain itu, hasil pengelolaan dana haji bisa digunakan untuk kepentingan umat Islam. Membangun masjid (seperti zaman Presiden Soeharto), membangun sekolah dan universitas, rumah sakit, pemberdayaan orang miskin, dan semua upaya menyejahterakan kaum muslimin. Wallahu a’lam. (*)

 

*) Dosen ekonomi syariah FEB Universitas Airlangga dan ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jatim 2015–2021.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: