Awas, Ketinggalan Kereta!
-Ilustrasi: Reza A. Maulana-Harian Disway-
SBY turun tangan langsung. Ia memimpin rombongan Demokrat untuk bertemu Surya Paloh. Bertamu ke markas Nasdem.
Sudah bisa ditebak. Jelas itu manuver di tengah permainan catur membangun koalisi pilpres. Demokrat harus gesit agar tak ketinggalan kereta.
Di Pilpres 2019, Demokrat dan PAN tersisa di tengah setelah terbangun dua koalisi. Saat itu sudah terbentuk koalisi besar yang dimotori PDIP yang mengusung Jokowi. Sedangkan Gerindra dan PKS mengusung Prabowo-Sandi. Demokrat dan PAN yang tak cukup syarat membangun grup sendiri tak bisa mengusung jagonya. Akhirnya ikut kubu Prabowo.
Sejatinya peta saat ini tetap ruwet. Bisa dibilang makin ruwet. Memang sih koalisi itu cair, katanya. Tapi, tetap ada kendalanya, terutama partai yang pasang harga mati harus dapat jatah capres atau cawapres. Juga, hubungan partai seperti minyak dan air, akan sulit bertemu.
Adakah yang bakal ketinggalan kereta kali ini?
Munculnya Koalisi Indonesia Bersatu (KIB): Golkar, PAN, dan PPP langsung membuat ramai jagat pilpres. Mereka (kalau tetap langgeng) sudah pegang tiket. Sudah melampaui syarat 20 persen itu. Lahirnya KIB itu memancing elite parpol lain kasak-kusuk, saling mengunjungi menjajal koalisi.
Ada yang menyebut KIB sekoci buat calon yang diinginkan Jokowi. Kalau Jokowi punya jago sendiri yang berbeda dengan PDIP, lewat sekoci itulah dilarungkan. Indikasi ke arah itu makin kuat setelah hadirnya Luhut Pandjaitan dan Ketua Projo (relawan Jokowi) di acara mereka. Bahkan, beredar kabar bakal ada kudeta di Golkar untuk memuluskan koalisi sekoci.
Dinamika terbaru koalisi itu membantah sebagai sekoci. Ketum Golkar Airlangga Hartarto menegaskan akan mengusung kader partai anggota koalisi untuk pos capres. Artinya, bukan untuk Ganjar Pranowo dan Erick Tohir yang kini sedang menebar pesona itu. Di sisi lain, di beberapa survei kredibel, elektoral Ganjar atau Ketum PAN Zulkifli Hasan tidak kunjung naik.
PDIP –satu-satunya parpol yang sudah pegang tiket– tak perlu koalisi. Gelagatnya, mereka bakal mendorong Puan Maharani, putri mahkota. Kendalanya elektoral juga, belum tembus tiga besar. Kader lain, Ganjar Pranowo, elektoral mendukung, tapi ”jauh” dari markas PDIP. Beberapa acara PDIP di Jateng,tak mengundang Ganjar yang notabene gubernur.
Katakanlah, PDIP tetap mengusung Puan, dibutuhkan partner kuat. Prabowo atau Anies Baswedan. Prabowo sudah wira-wiri ketemu Megawati, ibunya Puan. Apakah akan muncul Prabowo-Puan? Mungkin saja. Duet Anies-Puan juga mulai terdengar. Belum ada para elite PDIP yang memberikan reaksi negatif.
Beredar kabar sudah ada operasi yang mendekatkan Puan dan Anies. Apalagi, Anies dan Puan tampil bersahabat saat Formula E. Tapi, bila itu terjadi, tak bisa dibayangkan di akar rumput. Kita tahu, banyak pendukung Anies dari kelompok Islam yang sering berseberangan pandangan dengan massa PDIP.
Posisi Nasdem menarik diulas. Surya Paloh seperti menjadi kunci penentu. SBY, Prabowo, dan Airlangga yang menemuinya. Apa daya tariknya? Kini Nasdem menjadi partai tengah yang bisa ke mana-mana setelah partai tengah lain seperti Golkar dan PAN sudah punya koalisi sendiri.
Nasdem juga punya kedekatan historis dengan Anies Baswedan. Seperti diketahui, Anies salah seorang deklarator Ormas Nasdem sebelum lahirnya parpol Nasdem. Surya Paloh pun sudah memberikan isyarat Anies termasuk kandidatnya.
Ketum Projo Budi Arie malah menyebut Surya Paloh sudah mengajukan duet Ganjar-Anies ke Presiden Jokowi. Belum apa-apa, langsung muncul pro-kontra di medsos. Banyak pendukung keduanya yang tak setuju. Surya Paloh sendiri tak banyak komentar dengan ”bocoran” itu.
Setelah ada kabar pertemuan Jokowi-Paloh itu, SBY merapat ke markas Nasdem. Memunculkan spekulasi menggodok koalisi Nasdem-Demokrat-PKS. Koalisi itu pun bakal mengusung Anies-AHY.
Demokrat-PKS, yang selama bersikap oposisi dengan Jokowi, belum cukup membangun koalisi sendiri. Butuh satu partai lagi. Sekutu dekat mereka, PAN, sudah punya koalisi sendiri.
Demokrat-PKS sudah pasti sulit ikut gerbong PDIP. Ibaratnya, PKS di kanan luar, PDIP kiri luar. Demokrat juga sulit merapat ke PDIP, hubungan SBY dan Mega juga belum cair.
Demokrat-PKS bisa cocok dengan Gerindra. Tentu, pos capres milik Prabowo, siapa cawapres? AHY, Sandy atau Anies. Apakah Demokrat siap kalau AHY tidak cawapres. Sementara, PKS sangat dekat dengan Anies. Koalisi itu fifty-fifty karena Prabowo juga dekat dengan PDIP.
Bagaimana dengan PKB. Partai itu pasang harga Ketum Muhaimin Iskandar harus capres. PKB siap bergabung dengan KIB, pasang syarat: Muhaimin sebagai capres. Tentu tidak ketemu dengan keinginan Golkar. Andaikan dengan Gerindra, rasionalnya Gerindra capres karena kursiya lebih banyak. Kalau hanya berdua, PKB- Nasdem, belum cukup.
PKB dengan PDIP, Puan-Muhaimin atau dibalik, koalisi memungkinkan karena histori kedekatan PDIP dan PKB. Tapi, elektoral survei kedua calon masih rendah. Lain halnya bila didukung total oleh NU, pasangan itu akan kuat. Sayang, hubungan PKB dan NU sedang tidak biasa-biasa saja.
PKB-Demokrat-PKS? PKB dan Demokrat sudah punya pengalaman. Yang perlu persamaan visi PKB dan PKS. Siapa capresnya? Anies atau Muhaimin?
Yang juga perlu diantisipasi oleh Demokrat dan PKS adalah bila pendukung pemerintah sekarang membentuk satu koalisi atau dua koalisi. Katakanlah, muncul kubu sekoci KIB plus Nasdem dan koalisi PDIP, Gerindra, dan PKB. Bila itu terjadi, Demokrat dan PKS bisa tertinggal kereta karena keduanya belum cukup untuk satu tiket. Karena itu, sangat-sangat relevan, keduanya menjaga kedekatan dengan Nasdem. Pilihan paling strategis, baik secara ideologi maupun paket Anies Baswedan.
PKB juga bisa terlena bila tetap pasang harga mati menyodorkan ketua umumnya sebagai capres atau cawapres. Bila tidak elastis, juga bisa ketinggalan kereta. (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: