Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 1: Mati Kata Menatap Aura Sejarah Besar

Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 1: Mati Kata Menatap Aura Sejarah Besar

Saya dengan latar belakang Kampung Tradisional Bena. Terlihat rumah-rumah beratap rumbia berjejer rapi. Rumah khas Bena itu saling berhadapan di kaki gunung. Dikelilingi bukit-bukit indah.--

Yuk ikuti perjalanan saya ke Indonesia wilayah timur sejenak. Ke Bena. Kampung tradisional zaman Megalitikum di Desa Tiworiwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Agar merasakan kehangatan tersembunyi yang berharga. 

Dusta yang menyertai, itu seperti bibit dari segala belenggu, maka selaksa cinta pun menjadi batu di paduan yang menyatu dengan sewindu waktu. Leluhurmu bukan terlahir dengan rangkaian biru, tetapi menjadi hadir pada setiap peristiwa yang menyertaimu. Itu sang waktu yang menghempaskan pada setiap rasa, maka kerasnya cinta dan duka menjadi puing-puing batu, berwujud tapi tak berasa. Itukah jiwa? 

Petikan novel Seruni Niskala di atas adalah hasil pertanyaan perjalanan jiwa yang wajib dipahami. Utamanya bagi penulis. Karena meskipun novel, saya selalu melakukan riset panjang agar tak terjun bebas mengarang.

Menulis catatan perjalanan menjadi salah satu cara saya menyimpan hasil riset. Dari situ saya memberi bunga-bunga diksi dan alur cerita untuk menjadi novel yang bisa membumi. Dekat dengan pembaca.

Seruni Niskala, novel yang ’berat’ dari sisi riset dan rajutan cerita berlatar Kerajaan Galuh dan Majapahit. Tapi bukan novel sejarah. Hanya berdasarkan legenda dan realitas. 


Saya dan Saujana, sahabat yang mengantar perjalanan saya selama mengunjungi Kampung Tradisional Bena.

Kali ini saya tidak membahas tentangnya. Belum saatnya. Saya hanya menukil sedikit isinya sebagai pembuka travel notes lima seri ke depan. Biar terasa mengayun-membuai jiwa pembaca yang mungkin saat ini sedang gaduh.

Kemilau mutiara timur itu terus memesona memancarkan cahaya Sang Pengundang. Setelah kelana saya dari Raja Ampat dan menghasilkan novel Rindu Terpisah di Raja Ampat (2015), bumi Flores menarik-narik rasa penuh selidik agar segera bisa saya singgahi. 

Awalnya saya ingin lebih banyak tinggal di Labuan Bajo. Karena sering turunnya hujan dengan curah yang lumayan tinggi, saya urung bertemu si komodo di Pulau Rinca. 

Padahal banyak sekali yang ingin saya temui selain komodo. Salah satunya Istana Balok yang cukup melegenda kisahnya. Di sana banyak sekali puing dan tiang batu berserakan. Calon bangunan istana yang tak jadi.

Kisahnya konon mirip dengan Bandung Bondowoso. Hanya beda versi. Karena jiwa penuh selidik, obsesi jadi arkeolog dan antropolog yang belum kesampaian, membuat saya berpikir harus ke Istana Balok. Satu saat nanti.

Oleh sebab cuaca yang kurang bersahabat untuk menyeberang pulau impian itu maka perjalanan wisata berubah. Beruntung Saujana –sahabat yang saya panggil dia Sau- setia menjadi penuntun saya jalan di Flores. Ia banyak menawarkan pilihan untuk kelanjutan kelana kami. Ketika menyebut Bena, saya setuju.

Untuk ke sana, kami harus melewati Kota Ruteng dan Bajawa. Pikir saya, semua akan bisa dengan mudah terlampaui. Jalan darat dengan membelah gunung dan bukit akan menjadi petualangan seru, off road yang menantang, menyenangkan.

Saat hari kedua di Labuan Bajo, sekitar jam 1 siang, mobil pun melaju pelan dan tenang menuju Bena. Saya santai sekali menikmati kecantikan hijaunya bukit. Hutan di kanan kiri jalan.

Sumber: