Koalisi

Koalisi

-Ilustrasi: Gambareza-

BEGITU riuh panggung politik Indonesia belakangan ini. Partai Kebangkitan Bangsa dan Gerindra tiba-tiba menyiratkan koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Kalau koalisi ini terbentuk kira-kira akan mengusung pasangan Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar. Atau sebaliknya –sulit bagi Prabowo. 

Dua partai ini sudah cukup untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden. Sudah memenuhi Parliamentary Threshold yakni 20 persen kursi DPR. Gabungan kursi dua partai ini adalah 136 kursi atau 23,66 persen. Koalisi ini belum resmi. Mungkin juga masih wacana. Test the water. Tujuannya untuk memancing reaksi publik dan reaksi partai politik lain. Tentunya juga memancing reaksi tokoh-tokoh yang berambisi menjadi calon presiden. 

BACA JUGA:Demokrasi di Partai Demokrat 

Saat intim dengan Gerindra, PKB juga "pacaran " dengan PKS dan Demokrat. Istilah pacaran itulah yang dipilih oleh Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid yang juga wakil ketua MPR itu. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar juga menyatakan akan mengajak Demokrat dan PKS bergabung ke dalam koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). 

Kalau dijumlahkan, gabungan empat partai itu 41,75 persen. Namun, kalau empat partai itu bergabung, penentuan capres-cawapres akan lebih alot. Katakanlah capresnya tetap Prabowo. Cawapresnya akan bersaing antara Muhaimin Iskandar dan Agus Harimurti Yudhoyono. Belum lagi kalau Nasdem ikut bergabung membawa nama Anies Baswedan.

Sebelumnya, telah beredar Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang terdiri dari Golkar, PAN, dan PPP. Namanya mirip dengan nama kabinet SBY. Gabungan tiga partai ini juga memenuhi Parliamentary Threshold yakni 25,73 persen. 

Kalau koalisi ini terwujud bisa saja mengusung pasangan Airlangga Hartarto-Zulkifli Hasan. Itu kalau acuannya menjadikan ketua umum partai sebagai capres-cawapres. Sekarang kan tren setiap partai mengusung ketua umumnya sebagai capres.

Masih ada Nasdem dan PDIP yang belum jelas arah koalisinya. Awalnya Nadem ingin menggelar konvensi capres. Cukup serius. Partai itu meminta lembaga kajian ternama untuk menggelar focus group discussion (FGD) di beberapa daerah untuk menjajaki rencana konvensi itu. Format konvensinya berbeda dengan yang dilakukan Partai Demokrat pada 2014. Nasdem ingin menggelar konvensi setelah koalisi terbentuk. 

Nasdem juga pernah mewacanakan untuk mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Bahkan gubernur DKI Jakarta itu kabarnya sudah siap-siap masuk Nasdem. Toh, Anies juga bagian dari Nasdem saat masih menjadi ormas. 

Namun di internal Nasdem belum bulat mendukung Anies. Ada kekuatan yang menolak Anies di dalamnya. Sehingga muncul wacana baru di Nasdem, yakni mengajak Golkar mengusung Ganjar Pranowo yang akan dipasangkan dengan Erick Thohir. Bahkan diisukan Ganjar-Erick adalah nama yang dikehendaki oleh Jokowi.

Sikap dingin ditunjukkan oleh PDIP. Partai pemenang Pemilu 2019 itu memang tidak perlu berkoalisi untuk mengusung capres-cawapres. Jumlah kursinya 22,26 persen. Tapi membiarkan diri dikeroyok pada 2024 tentu bukan hal yang bijak. Kecuali PDIP memiliki calon presiden yang benar-benar pilih tanding. Tidak akan mungkin dikalahkan. Seperti halnya Jokowi pada 2019. Atau SBY pada 2009. 

Manuver-manuver koalisi parpol yang sedang terjadi itu seakan sedang menggoda PDIP. Semua parpol menunggu arah angin PDIP. Sebab, sikap PDIP inilah yang akan menentukan peta koalisi sesungguhnya. Juga menentukan akan ada berapa capres dalam Pilpres 2024.

Melihat manuver yang ada, bagaimana nasib para tokoh yang selama ini menghiasi survei? Ada Ganjar Pranowo, Anies Baswedan, Erick Thohir, Ridwan Kamil, Khofifah Indar Parawansa, dan sebagainya? Tentu peluangnya masih ada. Mereka juga harus bermanuver untuk mengimbangi manuver parpol.

Ganjar Pranowo memang kader PDIP. Ia tentu berharap diusung PDIP. Hatinya adalah banteng meskipun dijuluki celeng. Tentu Ganjar ingin seperti Jokowi. Dulu Jokowi juga tidak dikehendaki Megawati. Saat itu Megawati masih ingin maju. Megawawati akhirnya bisa diyakinkan bahwa Jokowi adalah capres yang tepat. 

Bisakah Ganjar mendapat restu Megawati? Kalau benar Jokowi mendukung Ganjar, tentu akan ada jalan untuk merayu Megawati. Apalagi Jokowi juga baru saja mengirim putranya, Gibran Rakabuming Raka untuk menemui Megawati dan Puan Maharani. 

Bagaimana dengan Anies? Potensinya sangat besar. Prestasinya memimpin Jakarta luar bisa. Semakin diserang, elektabilitasnya semakin naik. Serangan PSI selama ini justru meningkatkan empati publik kepada Anies. 

Hanya saja, hasil survei tidak ada gunanya kalau Anies tidak diusung parpol. Tidak ada calon independen dalam Pilpres. Selama ini dua partai yang dekat dengan Anies adalah Nasdem dan PKS. Dua partai ini bila bergabung baru memiliki 18,97 persen. Belum cukup untuk mengusung capres. Anies masih harus bekerja keras. Termasuk memosisikan dirinya lebih ke tengah agar tidak terkesan terlalu "kanan". 

Lain lagi dengan Erick Thohir. Ia merapat ke Nahdlatul Ulama. Sudah menjadi anggota GP Ansor. Ikut Diklatsar Banser. Sebagai menteri BUMN dan pengusaha kaya, Erick Thohir punya daya tarik besar. Namun, posisinya mungkin masih di level wakil presiden. Tapi bila angin politik bertiup kencang kepadanya, bukan tidak mungkin menjadi capres.

Segala kemungkinan masih terbuka. Ini politik. Banyak yang berharap akan lahir tiga poros politk. Sehingga yang bertanding pada Pilpres 2024 ada tiga pasangan capres-cawapres. Dengan tiga pasangan, polarisasi politik yang terjadi setelah Pilpres tidak terlalu besar. 

Dua kali Pilpres terakhir begitu melelahkan karena diikuti dua pasangan capres-cawapres. Dampaknya masih terjadi sampai sekarang. Masyarakat terbelah. Media sosial isinya hanya perdebatan cebong-kadrun. Dan itu terjadi di semua aspek. (*)

 

*) Pemimpin Redaksi Harian Disway

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: