Review Thor 4, Marvel Land: Love and Thunder Fun Park

Review Thor 4, Marvel Land: Love and Thunder Fun Park

DUET THOR (Chris Hemsworth, kanan) dengan Jane Foster (Natalie Portman) dalam Thor: Love and Thunder menyuguhkan elemen drama dalam komedi klasik ala Marvel. -Marvel Studios-via Entertainment Weekly

Oleh:
Awik Latu Lisan,
penikmat film, member Grup Hobby Nonton

Thor: Love and Thunder panen komentar pedas dari kritikus. Namun, menurut komunitas film Hobby Nonton, ini justru proyek penebusan. Bukan soal kualitas. Tapi tentang bagaimana Marvel berhasil kembali meramu film menjadi sebuah hiburan ala fun park. Taman hiburan. Siapkah Anda having fun bersama Thor dengan penuh cinta dan gemuruh kesenangan? Jangan khawatir, tulisan ini bebas spoiler.
---

YA. Thor: Love and Thunder sepertinya menjadi jalan penebusan Marvel kepada fans. Setelah Doctor Strange in the Multiverse of Madness (2022) sedikit mengecewakan. Bahkan sebelumnya, film pembuka Phase 4 Marvel Cinematic Universe (MCU), Black Widow dan Eternals, juga tak terlalu disukai oleh fans.

Meskipun sebenarnya, kegagalan Doctor Strange 2 adalah akibat efek domino. Dari keberhasilan luar biasa Spiderman: No Way Home pada akhir 2021. Ekspektasi penggemar terbangun menjadi semakin liar, dan berharap Marvel melanjutkan formula nostalgia itu di Doctor Strange 2. Tapi ternyata tidak. Bahkan kemunculan Illuminati tak mampu membayar kekecewaan mereka.

Tiga tahun lalu, Martin Scorsese melontarkan kritikan kontroversial tentang Marvel. Sutradara legendaris Hollywood itu bilang, film-film MCU ’’Bukanlah sebuah sinema.’’ Film-film itu, menurutnya, ’’Lebih seperti theme park—alias taman hiburan” daripada sinema tradisional.

Dalam artikel klarifikasi yang ia tulis di New York Times, ia menegaskan, sinema adalah bentuk seni yang membawa Anda kepada hal-hal yang tak terduga. Sedangakan dalam film superhero, risiko itu tidak ada.

Scorsese seperti menghina. Tapi bagi saya, beliau sedang menunjukkan bahwa dunia film dan bioskop sudah banyak berubah setelah kehadiran MCU. Marvel membawa film dari sebuah pertunjukan seni berkembang menjadi franchise bisnis. Bisnis yang menguntungkan adalah sebuah bisnis yang efektif dan tepat sasaran. Semua diatur dan ditata rapi agar menarik dan berkelanjutan. Sedangkan sinema, sebagai sebuah seni, harus menempuh proses kreatif yang berbeda.

Franchise berorientasi pada kenikmatan menonton, super fun, dan menghibur. Tidak ada ruang kosong untuk berimprovisasi ataupun bereksperimen terhadap formula film. Sedangkan sinema berorientasi pada eksplorasi sineas terhadap film itu sendiri. Bagi Scorsese, dalam sinema ada banyak hal yang tak terduga yang akan didapatkan penonton.

Risikonya, film bisa disukai penonton, dan bisa tidak disukai. Seperti film-film karyanya sendiri. The Irishman (2019) atau Taxi Driver (1976), contohnya, tidak terlalu diterima pasar. Tapi justru sangat dicintai kritikus.

Layaknya berada di theme park, penonton harus terhibur. Wahana di taman hiburan tujuannya sederhana. Menghilangkan rasa penat, stres, dan menjauhkan pikiran dari hiruk pikuk keseharian. Film-film MCU persis seperti itu. Penonton datang ke bioskop, mengeluarkan uang untuk tiket. Lalu diajak naik ke wahana yang menghibur dan superfun. Bukan malah untuk diajak berpikir lagi tentang rumitnya plot, skenario multitafsir, atau bahkan drama panjang tanpa kelucuan sama sekali.

It’s All About the Joke


KEHADIRAN Tanngrisnir dan Tanngnjostr, dua kambing raksasa dari mitologi Nordic murni jadi comic relief yang memperkuat humor ala Taika Waititi. -Marvel Studios-

Thor adalah satu-satunya karakter MCU yang memiliki empat film solo. Bahkan berpotensi dijadikan universe sendiri. Dua adegan after credit-nya menjelaskan hal itu. Dan di akhir semua kredit, jelas sekali dikatakan, ’’Thor will Return’’. Karakter yang seangkatan dengan Thor seperti Captain Amerika dan Iron Man sudah lebih dulu pensiun. Jelas, Marvel jatuh cinta dengan Thor.

Sudah lima tahun sejak Thor: Ragnarok (2017) dirilis. Setelah berhasil mengalahkan Thanos di Endgame (2019) Thor (Chris Hemsworth) berpetualang bersama kawanan Guardians of Galaxy. Thor yang sebelumnya gemuk telah menjadi kekar dan kembali menjadi dewa pertempuran.

Suatu hari, seusai menuntaskan sebuah misi bersama Peter Quill dkk, Thor menemukan pesan dari Lady Sif, salah seorang pasukan pejuang Asgard yang sempat dikabarkan meninggal. Lady Sif menginformasikan bahwa ada seorang psikopat berkeliaran yang disebut God Butcher, yang menargetkan para Dewa sebagai korbannya. Dan target selanjutnya adalah dewa di Asgard.

Mendengar kabar itu, Thor berpisah dengan para Guardians. Dan berpetualang bersam Korg (Taika Waititi) menyelamatkan Asgard sekali lagi.

Thor: Love and Thunder benar-benar sangat menyenangkan sebagai sebuah film hore-hore. Sangat menghibur. Bioskop sering diwarnai gelak tawa dan tepukan tangan penonton. Terakhir saya mendapati momentum itu di bioskop adalah saat menonton Avengers: Endgame.

Saking menyenangkannya, anak-anak akan sangat menikmatinya. Dan untuk orang dewasa, film ini ringan sekali. Thor: Love and Thunder adalah sebuah perwujudan istilah popcorn movie yang sempurna setelah saga The Avengers. Anda cukup duduk, siapkan popcorn dan soft drink, dan nikmati filmnya.

Sebagai film hore-hore, sekali lagi saya ingatkan, jangan pernah sekali-sekali menanyakan plot hole atau bahkan logika dalam film seperti ini. Bukan ranahnya film hore-hore kita nilai sesuai standar sebuah film serius. Kalau ada yang enggak masuk akal, ya sudah. Nikmati saja. Ini hanya hiburan.

Ada tiga hal yang membuat saya menyebut Thor: Love and Thunder bagus. Yang pertama, komedinya. Thor berubah banyak setelah ditukangi Taika Watiti. Thor (2011) dan Thor: The Dark World (2013) cenderung gelap. Dengan naskah yang serius. Maklum, sutradaranya adalah Kenneth Branagh. Sedangkan setelah ditangani Watiti, komedi menjadi sajian utama.

Formulasi film Marvel banyak berubah semenjak James Gunn menangani Guardians of The Galaxy pada 2014. Setelah film itu, Fase 3 MCU mulai lebih berwarna, ceria, dan jenaka. Sejak itu juga, Marvel memilih sutradara muda dan berbasis komedi. Macam Russo Brothers, Peyton Reed, dan Taika Watiti. Dan menjauhi sutradara-sutradara serius macam Joss Whedon, Joe Johnston dan Kenneth Branagh yang mungkin akan menyusahkan di kemudian hari.


GORR THE GOD BUTCHER yang diperankan Christian Bale sukses meningkatkan level Thor: Love and Thunder dari film anak-anak menjadi roller coaster yang bisa dinikmati orang dewasa. -Marvel Studios-

Kekuatan yang kedua adalah CGI. Sebagai theme park, yang paling menyenangkan adalah menggabungkan aksi dengan komedi. Soal aksi, film-film Marvel dikenal bergantung pada kualitas CGI. Wajar. Soalnya, dalam film fantasi, setting-nya jelas tidak akan pernah didapatkan dari belahan dunia manapun. Love and Thunder menghasilkan tontonan CGI yang tak perlu lagi dipertanyakan. Kualitas wahid dari Disney.

Kekuatan ketiga adalah musik. Lagu sebagai scoring akhir-akhir ini lebih digemari dibandingkan score orisinal dari komposer. Dan kali ini, Thor: Love and Thunder mencomot secara epik lagu-lagu karya Guns n’ Roses: Welcome to the Jungle, Paradise City, November Rain, dan yang Sweet Child O’ Mine yang sudah kita dengarkan sejak trailer muncul.

Pemakaian lagu dari GnR awalnya memang agak aneh. Karena setting filmnya bukan era 90an. Tapi penempatan lagu di momen-momen adegan dalam film begitu pas dan tepat.

Sweet Child O’ Mine bahkan terdengar sangat melankolis saat kita tahu di penghujung film, ditunjukkan makna dari judul Thor: Love and Thunder. Petikan gitar Slash di November Rain juga jadi superkeren saat disatukan dalam adegan aksi. Alhasil, nuansa Thor: Love and Thunder seakan seperti spin off dari Guardians of The Galaxy.

Sebagai honorable mentions, apresiasi terbesar saya tujukan pada Christian Bale. Yang memerankan antagonis Thor, Gorr the God Butcher. Tanpa Bale, film ini bagi saya hanya sebuah kiddie ride. Bale membuat Thor: Love and Thunder dari odong-odong menjadi roller coaster.

Karakter Gorr diperankan dengan apik dan emosional oleh Bale. Meski sedikit seperti makeup Marylin Manson, tapi ekspresi Bale saat di-close up sangat detail dan kuat. Meski pada akhirnya menjadi klise, saya rasa lagi-lagi kita harus mengesampingkan plot hole. Anggap saja enggak ada.

Akhirnya, saya lega. Saya bisa mengatakan bahwa Marvel telah kembali ke jalurnya. Sudah cukup, Marvel. Jangan berambisi membuat film serius macam Eternals dengan sutradara serius macam Chloe Zhao. Marvel, kamu bukan DC. Fansmu juga bukan fans DC. Fokus saja dengan franchise-mu sendiri. Dan buatlah film yang menyenangkan dan menghibur. It’s all about the joke. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: