Setiap RW di Surabaya Harus Jadi Kampung Ramah Anak

Setiap RW di Surabaya Harus Jadi Kampung Ramah Anak

Sanaz, siswi SDN Kaliasin 1, mengikuti kampanye Hari Anak Nasional di Jalan Gubernur Suryo-Miftakhul Rozaq-Harian Disway-

AKU anak-anak Surabaya tidak suka kekerasan”. Kalimat itu terbentang di spanduk banner. Diarak oleh beberapa anak dan berkeliling mengitari Taman Apsari. 

 

Sebagian lagi juga memboyong spanduk dan poster dengan slogan serupa. Mereka adalah kumpulan pelajar SD-SMP yang berkampanye memperingati Hari Anak Nasional. Ada yang mengenakan seragam biru-putih dan ada juga yang mengenakan kaus merah putih.

 

Bahkan sempat berhenti lama di pinggir Jalan Gubernur Suryo. Tepat di depan Gedung Negara Grahadi. Mereka menyebarkan poster peringatan Hari Anak Nasional 2022 kepada para pengendara. 

 

Aksi itu sudah dipersiapkan sejak seminggu sebelumnya. Dengan melibatkan berbagai organisasi. Di antaranya, Organisasi Pelajar Kota Surabaya (Orpes), Forum Anak Surabaya (FAS), dan BEM Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair. “Kami rapat koordinasi dengan teman-teman lain. Karena aksi ini serentak di delapan titik," kata Zidny Mazaya, anggota Orpes saat ditemui di Taman Apsari. 

 

Titik-titik itu di antaranya, Jembatan Kedung Baruk Surabaya, Kebun Bibit Bratang depan kantor kelurahan Baratajaya, di depan Maspion Square (frontage road Jalan Ahmad Yani), di depan Museum Bank Indonesia, Taman Bungkul, di depan Jembatan Merah Plaza (JMP), di depan Pasopati Jalan Tegalsari, serta Taman Apsari.

 

Menurutnya, aksi tersebut sebagai bentuk perlawanan. Atau respons terhadap maraknya kasus kekerasan yang dialami anak-anak. Terutama beberapa kasus besar di Jawa Timur yang mencuat ke nasional belakangan ini. 

 

Siswa SMP Negeri 19 Kota Surabaya itu berharap agar tidak terulang kasus serupa. Tidak ada lagi anak-anak yang menjadi korban. Dengan aksi tersebut, kata Zidny, anak-anak ingin menunjukkan bahwa mereka juga punya kesadaran tentang hak dan kewajiban. 

 

Dan itu juga perlu dipahami oleh masyarakat luas. “Jadi kami membagikan kertas-kertas (leaflet) dan stiker ke masyarakat. Supaya mereka bisa membaca dan mengerti bahwa orang tua tidak boleh kasar apalagi keras kepada anak-anak,” tandasnya.

 

Aksi yang serentak digelar oleh 1.200 anak di delapan titik itu berlangsung selama hampir tiga jam. Mereka memulai dari titik masing-masing sejak pukul 06.00 pagi. Kemudian menuju ke acara puncak di pelataran Balai Pemuda.

 

Wajah Balai Pemuda juga dihias oleh panggung. Tak hanya itu, di beberapa lorong juga tersedia papan yang memanjang. Di sana terpajang puluhan karya hasil kreativitas anak-anak Surabaya. 

 

Mulai dari poster-poster kampanye maupun hasil fotografi terbaik di antara mereka. Salah satunya di lorong sisi timur dekat Rumah Bahasa. Puluhan poster desain anak-anak menghiasi sepanjang lorong.

 

Para pengunjung pun terlihat berhenti dan menikmati karya itu. Yang menonjol diletakkan di ujung depan papan. Itulah poster yang didesain oleh Naomi Cindy Novelina, pelajar kelas 8 SMP Kristen Petra 1 Surabaya.

 

Gambarnya adalah ilustrasi seorang karakter perempuan mengenakan baju pengantin. Namun, terlihat lari sambil menyingsing rok. Dengan membopong boneka beruang di tangan kanan.

 

Di pojok kiri bawah poster itu bertulisan: “Biarkan anak kesempatan bermain, belajar meraih prestasi di usia mereka”. “Ini ceritanya seorang anak perempuan yang kabur karena dinikahkan paksa oleh orang tuanya,” ujar Naomi.

 

Posternyi berhasil meraih juara pertama di ajang perlombaan poster perlindungan hak anak. Naomi sengaja mengangkat isu tersebut lantaran banyak kasus pernikahan dini yang masih terjadi. Terutama di berbagai daerah terbelakang.

 

Dia pun telah diundang naik ke panggung. Menerima piala dan piagam penghargaan langsung dari Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi. Bersama puluhan anak lain yang memenangkan beberapa lomba. Baik lomba poster, lomba fotografi bertema kasih sayang dalam keluarga hingga tarik tambang.

Pembagian stiker untuk kampanye stop kekerasan pada anak.-Miftakhul Rozaq-Harian Disway-

 

Pada kesempatan itu, Eri pun menyampaikan komitmennya kepada ribuan anak-anak Surabaya. Bahwa membangun Surabaya sebagai Kota Ramah Anak harus dimulai dari lingkungan RT/RW. Yakni dengan menyediakan taman dan tempat baca, hingga pusat pembelajaran keluarga (puspaga). 

 

“Dan semua orang tua serta seluruh masyarakat juga menjadi bagian pembangunan di dalamnya,” katanya. Dengan begitu, Kampung Ramah Anak bisa dibangun di setiap lingkungan RW. Sehingga anak-anak pun merasa nyaman dan jauh dari ancaman kekerasan.

 

Anak-anak bisa memanfaatkan puspaga tersebut. Terutama ketika mereka mendapat ancaman dari orang lain. Atau bahkan berselisih dengan keluarga sendiri. Maka mereka bisa langsung mengadu ke puspaga untuk mendapat layanan mediasi.

 

Rancangan program itu adalah respons dari 13 poin tuntutan yang disampaikan oleh perwakilan dari anak-anak Surabaya. Eri pun optimistis lingkungan ramah anak bisa diwujudkan dengan kerja sama semua pihak.

 

Menurutnya, tumbuh kembang seorang anak memang bergantung pada peran serta dan kondisi para orang tuanya. Oleh karena itu, Pemkot Surabaya juga fokus berupaya untuk mengentas Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).

 

"Nah, itu yang harus dikejar,” katanya. Terutama meningkatkan pendapatan masing-masing rumah tangga. Dari Rp 4 juta menjadi Rp 7 juta per bulan. Sehingga orang tua bisa mendidik dan ikut membangun kebahagiaan anak. (Mohamad Nur Khotib)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: