Rumah Sehat

Rumah Sehat

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

DI Jakarta tidak akan lagi ditemui rumah sakit karena sudah diubah menjadi rumah sehat. Pasien yang sakit tidak lagi dirujuk ke rumah sakit, tapi dibawa ke rumah sehat.

Kalau ada kecelakaan yang membawa korban parah, mereka akan dibawa ke unit gawat darurat di rumah sehat. Orang yang kepingin sehat akan datang ke rumah sehat untuk berkonsultasi mengenai cara hidup yang sehat.

Itulah gagasan Gubernur DKI Anies Baswedan yang pekan ini melakukan penjenamaan atau branding terhadap rumah sakit dengan mengubah sebutan RSUD (rumah sakit umum daerah) menjadi RSUJ (rumah sehat untuk Jakarta).

Ada perubahan mindset atau cara berpikir masyarakat yang ingin disasar dengan perubahan itu. Sesuai dengan namanya, masyarakat selama ini hanya datang ke rumah sakit saat dalam kondisi tidak sehat.

Dengan perubahan nama itu, Anies berharap agar masyarakat juga datang ke rumah sehat saat mereka dalam keadaan sehat. Rumah sehat dirancang untuk benar-benar membuat kita berorientasi pada hidup yang sehat, bukan sekadar berorientasi untuk sembuh dari sakit.

Perubahan mindset psikologis punya pengaruh terhadap kondisi fisik. Banyak orang yang menjadi sakit karena pikirannya merasa sakit dan hal itu kemudian berpengaruh kepada fisiknya. Dalam istilah kesehatan, hal tersebut disebut sebagai psikosomatis. Yaitu, orang menjadi sakit karena mempersepsikan dirinya sedang dalam keadaan sakit.

Secara filosofis, realitas fisik bergantung pada pikiran seseorang terhadap sesuatu. Sebab, pada dasarnya, realitas adalah konstruksi pikiran. Secara ekstrem, filosofi itu berpendapat bahwa tidak ada realitas di dunia ini karena semua realitas adalah konstruksi dan ekspresi pikiran. Gadget yang sedang kita pegang sebenarnya bukan gadget, melainkan konstruksi pikiran kita mengenai gadget.

Karena itu, kalau tidak ada rumah sakit, tidak ada orang yang sakit. Kira-kira seperti itulah filosofi di balik keputusan Anies. Dengan perubahan mindset, seseorang diharapkan mengubah habitusnya.

Konotasi rumah sakit yang negatif diubah menjadi positif dengan sebutan rumah sehat. Selama ini mindset masyarakat melihat rumah sakit sebagai sarana untuk mengobati penyakit. Cara pandang kuratif dan rehabilitatif itu menjadikan rumah sakit hanya dikunjungi orang yang berobat dan ingin menjalani penyembuhan.

Cara pandang itu diubah menjadi preventif dan konsultatif. Orang datang ke rumah sehat untuk menjaga kondisi supaya tidak sakit dan bertanya serta berkonsultasi kepada dokter untuk menjaga pola hidup yang sehat.

Rumah sakit tidak hanya mengobati, tapi juga memberikan pelayanan yang nyaman dan ramah. Dalam bahasa Inggris, rumah sakit disebut sebagai ”hospital” yang berarti layanan keramahtamahan. Seperti halnya hotel yang bergerak di bidang ”hospitality” yang memberikan pelayanan dengan ramah dan nyaman, rumah sehat juga akan memberikan layanan hospitality sebagaimana yang seharunya diberikan oleh hospital.

Bahasa Indonesia mempunyai banyak keterbatasan untuk menjadi sarana ekspresi. Penyebutan rumah sakit menimbulkan persoalan semantik atau tata bahasa. Rumah sebagai subjek dan sakit sebagai kata sifat menunjukkan bahwa rumah menderita sakit.

Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu adalah lingua franca atau bahasa pergaulan dan perdagangan. Bahasa itu dipilih menjadi bahasa Indonesia karena sederhana dan mudah diingat. Namun, ada risikonya, yaitu bahasa Indonesia miskin terhadap ekspresi dan tidak cukup canggih untuk mengadopsi istilah-istilah ilmiah.

Dalam bahasa Indonesia, ”makan” akan dipakai untuk menjelaskan kegiatan makan di berbagai waktu. Bahasa Inggris mengenal breakfast, lunch, dinner, dan supper. Bahasa Indonesia menerjemahkannya menjadi makan pagi, makan siang, makan malam, dan makan tengah malah. Orang awam mempertanyakan dengan bercanda mengapa makan siang, bukan makan nasi.

Hal yang sama terjadi pada sebutan rumah sakit. Rumah sebagai benda tentu tidak bisa sakit atau sehat. Karena itu, penyebutan rumah sehat pun dipertanyakan, apakah rumahnya yang sehat atau orangnya. Jangan-jangan, hanya rumahnya yang sehat, tapi orangnya sakit-sakitan.

Bahasa Malaysia menerjemahkan rumah sakit menjadi ”hospital” dengan mengadopsi langsung dari bahasa Inggris. Hal yang sama dilakukan Malaysia dalam menerjemahkan berbagai istilah bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu.

Joke yang selama ini banyak beredar menyebutkan bahwa dalam bahasa Malaysia, ”rumah sakit bersalin” disebut sebagai ”hospital korban laki-laki”. Di satu sisi, pemakaian kata hospital berkonotasi positif. Namun, di sisi lain, ”korban laki-laki” berkonotasi negatif dan seksis.

Penjenamaan itu bisa memunculkan masalah semantik, misalnya, apakah rumah sakit bersalin akan diganti menjadi rumah sehat bersalin. Lalu, rumah sakit jiwa akan diubah menjadi rumah sehat jiwa. Karena itu, kebijakan Anies menjadi pertanyaan, apakah benar-benar substantif atau sekadar permainan semantik.

Konsep rumah sakit sebagai pusat kesehatan sudah diimplementasikan dalam pelayanan kesehatan masyarakat di level desa. Selama ini masyarakat desa dan kecamatan dilayani puskesmas, pusat kesehatan masyarakat. Organisasi sosial keagamaan Muhammadiyah mempunyai PKU atau pusat kesehatan umat, yang beroperasi di level desa dan kecamatan.

Anies Baswedan mengatakan, ide penjenamaan sudah dipikirkannya sejak 2019. Namun, nama puskesmas dan PKU sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu. Ide Anies sebenarnya tidak baru, tapi menarik ditunggu bagaimana hasilnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: