Para Penampil dalam Gelar Koreografer 2022 (3); Menggugat Erotisme dan Gender

Para Penampil dalam Gelar Koreografer 2022 (3); Menggugat Erotisme dan Gender

Ketiga penari yakni Nila Ayu Risma Afianti, Lala Frisca Nanda Gustina, dan Diyah Ayu Patmawati melakukan gerakan pinggul sembari menutup kepala hingga pundak dengan kain transparan dalam Sari Kembang. --

Fahmida Yuga Pangestika membawakan Sari Kembang untuk Gelar Koreografer 2022 di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Jatim. Gelaran itu juga menyuguhkan  tim koreografer dari Banyumas yang membawakan Nosheheorit, karya Otniel Tasman.

Lampu sorot di belakang panggung pementasan Gedung Cak Durasim menyinari latar. Sebuah panggung kecil sederhana. Saronen khas Ponorogo menyalak bertalu-talu. Suaranya seperti terompet yang dibunyikan tak teratur, tapi tetap enak dinikmati.  

Tiga penari pada pementasan awal bertajuk Sari Kembang itu berada pada posisi membelakangi penonton. Ketiganya berbalut kain berwarna hijau. Selendang transparan ada di bagian atas, menutup bagian kepala hingga pundak.

Koreografer tarian tersebut, Fahmida Yuga Pangestika, mengawasi dari balik panggung. ”Apa yang saya buat ini merupakan representasi dari tarian jathil obyok khas Ponorogo. Saya mencoba mengangkat budaya lokal dari daerah asal saya," ungkap Fahmida.

Ketiga penari yakni Nila Ayu Risma Afianti, Lala Frisca Nanda Gustina, dan Diyah Ayu Patmawati, melakukan gerakan pinggul sembari menutup kepala hingga pundak dengan kain transparan. 


Geraknya erotis. Tempo musik tak beraturan karena dominan bunyi saronen. Meski sedikit muncul bunyi-bunyian kendang, namun temponya tetap tak konstan. Bila dalam pementasan langsung tradisi jathil obyok, penarinya mungkin bisa leluasa bergerak dengan improvisasi. 

Namun ketika dilakukan dalam bentuk pementasan, maka perlu berlatih secara serius.  ”Jathil obyok memang tak mengikuti tempo. Tapi tetap bisa harmonis dalam geraknya,” ujar perempuan 28 tahun itu. 

Dalam gerakan-gerakan pinggul yang erotis, Fahmida hendak mengungkap keindahan jathil obyok. Bahwa apa yang dianggap tabu oleh masyarakat masa kini, justru menjadi hal biasa bagi masyarakat Ponorogo masa lalu. Sebab erotisme itu bukanlah porno, melainkan sebuah bentuk estetika tradisi.

Fahmida berlandaskan perhatiannya pada situasi sosial di daerah asalnya. Bahwa dalam lingkungan masyarakat, anak-anak kecil pun tertarik dengan tarian jathil obyok. 

Pada usia kanak-kanak, mereka sudah mencoba menari dengan pinggul digoyangkan (ngegrek). ”Tapi beberapa orang menganggapnya negatif. Masih kecil kok sudah jathil obyokan. Seperti tidak baik dipandang. Mereka tidak melihatnya dalam perspektif estetis dan upaya pelestarian,” terang alumnus Prodi Sendratasik Unesa itu.

Para penari bergerak secara beriringan. Berputar, saling berbaris atau terpisah, dengan gerakan yang senada. Ketika menghadap penonton, kain transparan itu dibuka. Seperti judulnya, Sari Kembang, ketiga penari menyibak kain mereka secara perlahan. Seolah menggambarkan rekah kelopak bunga.

Dalam sebuah gerak, sorot lampu mengarah ke panggung kecil. Para penari dengan gerak dinamis, masing-masing mencoba untuk eksis di atas panggung. Namun kawan di sampingnya mendorongnya hingga ke bawah panggung. 


Dengan ekspresi marah, dia naik ke panggung dan membalas kawannya itu dengan mendorongnya. Begitu seterusnya, seperti saling bersaing berebut panggung. 

Hingga mereka seperti bersepakat untuk berbagi, menari bersama. Meski panggung tersebut berukuran kecil.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: