Nasib 21 Unit Syariah Bank Konvensional

Nasib 21 Unit Syariah Bank Konvensional

-Ilustrasi: Reza Alfian Maulana-Harian Disway-

MASA depan 21 unit usaha syariah (UUS) bank konvensional dipertaruhkan tahun depan. Sesuai UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, semua UUS harus memisahkan diri (spin off) dari induknya, bank konvensional, pada Juli 2023. 

Saat itu penyusun sangat optimistis bahwa dalam 15 tahun setelah UU itu, kinerja UUS akan moncer dan siap menjadi bank umum syariah (BUS). 

Pada pasal 68 UU tersebut, dijelaskan bahwa UUS wajib melakukan spin off dalam dua keadaan. Pertama, jika asetnya mencapai 50 persen dari induknya. Kedua, setelah 15 tahun dari pemberlakuan UU Perbankan Syariah itu. UU tersebut diundangkan pada 2008 yang berarti tahun 2023 semua UUS harus spin off dari induknya, bank umum konvensional.

Kini, 14 tahun setelah berlakunya UU itu, ternyata kinerja UUS jauh dari harapan. Dari sisi aset, misalnya. Belum ada UUS yang asetnya mencapai 50 persen dari induknya. 

UUS dengan aset terbesar, misalnya, Bank CIMB Niaga Syariah dengan aset Rp 59 triliun (Juni 2022). Aset tersebut baru mencapai sekitar 19 persen dari total aset CIMB Niaga yang per Juni memiliki aset Rp 311 triliun. 

Secara individu, kinerja UUS seperti CIMB Niaga Syariah cukup baik. Tahun 2021, bank itu tumbuh 32,3 persen. Total pembiayaan mencapai Rp 42,3 triliun dan dana pihak ketiga (DPK) sebesar Rp 36,9 triliun per 30 Juni 2022. Return on asset (ROA) juga luar biasa, di atas 5 persen. Jauh dari rata-rata industri yang di bawah 3 persen.

Lalu, apakah CIMB Niaga Syariah siap spin off? Dengan aset tersebut, bank yang dimiliki Malaysia itu masih tidak percaya diri. Terlalu kecil untuk menjadi bank umum syariah. Kinerja yang cemerlang selama ini tak lepas dari kinerja induknya yang luar biasa. 

Size of business yang kecil disebut sebagai faktor penyebab mengapa bank syariah kurang bisa bersaing di pasar perbankan. Hingga saat ini, aset perbankan syariah masih kurang dari 7 persen dari total aset perbankan. Sementara itu, industri keuangan syariah secara keseluruhan baru mencapai 10,16 persen dari total industri keuangan syariah. Jauh dari target 20 persen KNEKS tahun 2024.

Dengan aset yang kecil, bank syariah  kurang efisien. Itu menjadikan cost of money perbankan syariah cukup tinggi. Overhead cost sulit untuk ditekan. Meski sudah berusaha menyalurkan hampir 100 persen dana pihak ketiga (DPK), perbankan syariah belum bisa menyalurkan pembiayaan dengan margin atau bagi hasil bersaing.

Itu mendapat pembenaran dari Bank Syariah Indonesia (BSI). Setelah merger, tiga bank syariah BUMN itu menjadi jauh lebih efisien, kapasitas lebih besar, dan bisa lebih bersaing dengan bank konvensional yang dari sisi aset jauh lebih besar. 

Setahun setelah merger, tahun 2021 BSI berhasil membukukan laba Rp 3,02 triliun. Naik sekitar 30 persen year-on-year (YoY). Triwulan I 2022, bank itu sudah membukukan laba Rp 987 miliar, naik 33,18 persen.

Dengan aset yang kecil, 21 UUS itu cukup mengkhawatirkan jika dipaksa spin off tahun depan. Bisa jadi, kualitas pelayanannya juga bakal menurun. Sebab, begitu melepaskan diri dari induknya, UUS tersebut akan turun kelas. 

Jika sekarang ada di bank BUKU 4 –dengan modal inti di atas Rp 30 triliun– bisa jadi begitu spin off akan turun ke bank BUKU 1 atau BUKU 2. Dengan turun kelas itu, layanan kepada nasabah tentunya juga akan turun karena ada beberapa layanan yang tidak bisa diberikan oleh bank BUKU 1 atau 2. 

Jika dipaksa harus spin off sesuai amanat UU, harus ada langkah besar yang dilakukan bank induknya. Salah satunya adalah suntikan modal. Memang, dalam UU 21 Tahun 2008 dimungkinkan UUS menjadi BUS dengan modal Rp 500 miliar dan secara bertahan dinaikkan menjadi Rp 1 triliun. Namun, dengan modal sekecil itu, BUS hasil spin off dipastikan tak akan bisa bersaing di pasar perbankan yang sangat ketat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: